Densus 88 : Bentukan Negara Kafir Untuk Hancurkan Muslim Indonesia

Sejak Obama terpilih di Amerika Serikat tumbuh subur kelompok Kristen ekstrim dan radikal, serta ultra-nasionalis yang rasis. Salah satunya, Hutaree, yang baru saja diberangus FBI

Sudah 15 tahun berlalu namun tragedi ini belum bisa dilupakan. Ketika itu, 19 April 1995, sebuah bom seberat 2 ton meledakkan Alfred Murrah Building, gedung pemerintah federal Amerika Serikat di Oklahoma City, membunuh 168 orang, termasuk 19 anak-anak, dan melukai lebih 800 orang.

Guna memperingatinya, Bill Clinton, Presiden Amerika Serikat pada waktu peristiwa itu terjadi, menulis di koran The New York Times edisi 19 April 2010, mengungkap bahwa pada bulan-bulan atau tahun sebelum bom meledak di sana tumbuh kelompok minoritas yang ekstrim, yang mempercayai ancaman terbesar bagi kebebasan Amerika adalah pemerintah, dan pegawai pemerintah tak melindungi kebebasan melainkan merusaknya. Dengan kata lain: mereka anti-pemerintah.

Sesungguhnya tak ada masalah dengan sikap itu. Warga Amerika, tulis Clinton, memiliki hak kebebasan yang lebih dibanding warga negara lain di dunia termasuk kapasitas untuk mengkritik pemerintah atau pejabatnya. Yang tak boleh dilakukan, menurut mantan Presiden tersebut, adalah penggunaan kekerasan atau ancamanan kekerasan tatkala ada keinginan yang tak tercapai. Dan itulah yang terjadi dalam pengeboman Oklahoma City, peristiwa teror dengan korban terbesar di Amerika Serikat setelah pengeboman Menara Kembar WTC New York, 11 September 2001.

Timothy McVeigh, pelaku pengeboman itu adalah simpatisan David Koresh, pemimpin sebuah sekte Kristen yang menyempal yang disebut Cabang David (Branch Davidian) di Waco, Texas. Koresh mengaku sebagai nabi kepada para pengikutnya. Dengan alasan kelompok sempalan ini menyimpan senjata gelap pada 19 April 1993, pasukan polisi federal FBI menyerbu Waco, menyebabkan David Koresh dan 74 pengikut terbunuh, termasuk sejumlah anak-anak.

Beberapa minggu sebelumnya, Maret 1993, McVeigh mengunjungi Waco. Ia sempat menyaksikan sendiri kompleks itu telah dikepung polisi federal. Maka persis dua tahun setelah peristiwa Waco, veteran Perang Teluk I dan pemegang Bintang Perunggu (Bronze Star) ini, membalaskan dendamnya dengan meledakkan 2 ton bom di Gedung Federal. Penyerbuan Waco dan pengeboman Oklahoma City sama-sama terjadi pada 19 April.

Peringatan terhadap pengeboman itu bukan cuma dengan tulisan Bill Clinton. Senin, 19 April lalu, jaringan televisi kabel MSNBC yang liberal menyiarkan rekaman wawancara wartawan Lou Michel dengan McVeigh di dalam penjara dulu. Untuk diketahui, karena perbuatannya McVeigh sendiri dijatuhi vonis mati oleh pengadilan dan telah menjalani eksekusi pada tahun 2001.

‘’Sembilan tahun setelah eksekusi itu kini kita masih dihinggapi kekhawatiran akan gaung suara Timothy McVeigh dari dalam kubur dalam bentuk arus baru kebangkitan kelompok ekstrimisme anti-pemerintah,’’ kata Rachel Maddow, komentator MSNBC, yang memberi narasi dalam rekaman wawancara itu.

Kebangkitan kelompok ekstrimis? Begitulah. Sejak calon Partai Demokrat Barack Obama terpilih sebagai Presiden akhir 2008, terlihat tanda-tanda bangkitnya kembali kelompok-kelompok ektrim atau milisi revolusioner Kristen, yang dalam dua priode kepresidenan George Bush (Partai Republik) telah sempat mereda. Obama yang berkulit hitam di mata kelompok-kelompok ultra-nasionalis atau kelompok ektrim Kristen sungguh sulit diterima.

Paling tidak, begitulah hasil pengamatan Eilen Pollack dari University of Michigan, penulis buku Breaking and Entering, novel yang bercerita tentang gerakan kaum milisi (The New York Times, 19 April 2010). Ribuan kaum milisi, misalnya, 19 April lalu, dikabarkan berkumpul di Virginia memperingati pengeboman Oklahoma City.

The Ku Klux Klan, kelompok kulit putih paling rasis yang sudah berusia ratusan tahun, kini mulai terdengar lagi suaranya. Di Tennessee, kelompok itu dikabarkan membuat daftar 88 orang kulit hitam – salah satu di antaranya Obama – yang akan dijadikan target untuk dibunuh.

Maka penangkapan 9 pemimpin Hutaree di Michigan, Indiana, dan Ohio, akhir Maret lalu, cukup menggetarkan Amerika Serikat. Soalnya, inilah kelompok ekstrim Kristen – dengan 350-an anggota -- yang terus-terang memuat slogan di website-nya: bersiap menghadapi perang akhir zaman. Di website itu pula dijelaskan, Hutaree artinya pejuang Kristen (Christian Warrior). Tak jelas dari mana mereka peroleh kata itu.

Untuk itu kelompok ini sudah lama mempersiapkan pelatihan militer terhadap para pengikutnya di kawasan pedesaan atau daerah terpencil terutama di tiga negara bagian, Michigan, Indiana, dan Ohio. Bila diperhatikan sejumlah rekaman video yang diperoleh polisi, pelatihan Hutaree mirip dengan yang dilakukan sekelompok orang di Aceh baru-baru ini, yang kemudian oleh polisi dituduh sebagai teroris. Pada waktu berlatih milisi Hutaree menggunakan seragam loreng tentara dilengkapi senjata api laras panjang.

Dalam dokumen di pengadilan diketahui anggota Hutaree percaya hanya dengan kekerasan (sesuai pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Bible) mereka bisa menjalankan perintah Tuhan. Oleh karenanya mereka mempersenjatai diri dan melakukan pelatihan untuk menghadapi perang melawan anti-Kristus yaitu setan, orang Yahudi, dan Muslim.

Kriteria Terorisme

Sebelum memasuki perang yang sesungguhnya melawan setan, Yahudi, dan Muslim, ternyata dari bukti-bukti yang dikumpulkan FBI, kelompok ini punya rencana melakukan pembunuhan terhadap polisi sebagai aparat hukum dengan harapan akan terjadi konflik bersenjata yang meluas.

Diketahui pada Februari lalu, Hutaree mengadakan pertemuan anggota di Lewanee County, kota kecil di barat daya Detroit, ibukota negara bagian Michigan. Tampaknya di sinilah rencana disusun. Mula-mula kelompok ini akan membunuh polisi yang dipancing dengan panggilan darurat telepon nomor 911 (nine-one-one). Atau bisa juga mereka membunuh polisi yang sedang bertugas di lampu merah.

Menurut rencana, setelah polisi itu terbunuh mereka akan menunggu momentum pemakamannya. Pada saat itu akan banyak orang berkumpul – terutama polisi – tapi dengan tingkat kewaspadaan yang rendah. Pada saat itu Hutaree mengerahkan pasukan bersenjata guna membantai orang-orang yang sedang berduka-cita di pemakaman.

Dalam skenario ini, penyerangan juga dilakukan dengan menggunakan bom rakitan sendiri yang biasa disebut improved explosive devices (IEDs) – yang terkenal karena digunakan gerilyawan di Iraq untuk membunuh banyak tentara Amerika Serikat -- dengan maksud agar jumlah korban yang jatuh lebih banyak. Dari sini Hutaree akan menyatakan perang kepada pemerintah Amerika Serikat.

Tapi ternyata FBI bergerak lebih cepat. Sebelum semua rencana itu dimulai, 27 Maret malam, FBI meringkus David Brian Stone, pemimpin tertinggi kelompok ini yang biasa dijuluki Captain Hutaree. Setelah itu penyergapan dilakukan di tiga negara bagian tadi untuk meringkus para pemimpin kelompok lainnya.

Para tokoh Hutaree yang kini ditahan berjumlah 9 orang. Mereka dikenakan pasal rencana pembunuhan sampai yang terberat rencana menggunakan senjata pemusnah massal. ‘’Mereka ini adalah contoh kelompok radikal dan ektrim yang bisa ditemukan di dalam masyarakat. FBI menangani kasus kelompok ini dengan serius, terutama mereka yang ingin mengorbankan warga negara yang tak bersalah dan aparat hukum yang melindungi warga Amerika Serikat,’’ kata Andrew Arena, Agen Khusus FBI di Detroit (The New York Times, 29 Maret 2010).

Pertanyaannya sekarang: apakah mereka teroris? Bila diikuti pemberitaan di media Amerika Serikat, umumnya kelompok ini mereka juluki sebagai ektrimis atau radikal, tapi tidak teroris. ‘’Tak ada yang berani menjuluki mereka teroris,’’ tulis David Dayen di Firedoglake blog yang liberal.

Kenapa? Bukankah mereka berencana meledakkan bom yang akan membunuh penduduk sipil yang tak berdosa? ‘’Mereka Kristen, karenanya mereka tak bisa jadi teroris,’’ jawab Dayen sarkastis. Ada pula komentator yang menyampaikan protes bila kelompok ini disebut teroris. ‘’Apakah mereka Muslim?’’, katanya (lihat The New York Times, 2 April 2010).

Hal sama terjadi dalam kasus Joseph Stack yang menubrukkan pesawat Piper Dakota ke gedung pajak Internal Revenue Service (IRS) di Austin, Texas, Februari lalu, menewaskan seorang manajer selain sang pilot sendiri, serta menyebabkan kebakaran di sebagian gedung. Peristiwa ini juga bukan terorisme. Joseph Stack bukan orang Islam.

Berbeda dengan penembakan di Fort Hood, Texas, November lalu. Saat itu karena stress, Mayor Nidal Malik Hasan, seorang perwira di basis militer Amerika Serikat itu menembaki kawan-kawannya secara membabi-buta, menyebabkan 13 orang terbunuh dan 29 terluka. Media ramai menyebarkan peristiwa ini sebagai teror karena sang mayor seorang muslim.

Dari sini jelas kalau kriteria terorisme menjadi kacau-balau. Para pejuang kemerdekaan di Iraq dan Afghanistan otomatis semua menjadi teroris. Begitu pula para pejuang kemerdekaan Chechen yang ingin merdeka dari penjajahan Rusia, termasuk orang-orang Mindanao yang sejak dulu memberontak karena ketidak-adilan pemerintahan Manila.

Meski berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia pun tampaknya meniru Amerika Serikat. Polisi dengan gampang menuduh orang teroris. Coba, orang Islam yang terlibat dalam bentrokan di Poso, sekarang dituduh sebagai teroris. Tapi para penembak gelap di Kabupaten Puncak Jaya, Papua, yang sudah memakan sejumlah korban tak disebut teroris.

Padahal semua orang tahu kasus Poso adalah bentrok antar-agama dan perkaranya sudah sempat dibawa ke pengadilan. Ini bisa terjadi karena pasukan anti-teror Indonesia, Densus 88, dibentuk, dilatih, dan difasilitasi Amerika Serikat.

Padahal di tahun 1986 Presiden Ronald Reagan mengatakan bahwa pejuang kemerdekaan adalah mereka yang berjuang untuk membebaskan rakyatnya dari penindasan dan menegakkan pemerintahan yang merupakan refleksi dari keinginan rakyat.

Dengan kriteria seperti itu Presiden Reagan mendukung perjuangan kaum Mujahidin untuk mengusir tentara Uni Soviet dari Afghanistan. Reagan menyamakan semangat para pejuang Mujahidin dengan semangat para pendiri Amerika Serikat.

Tapi selama dua priode pemerintahan Presiden George Bush semua berubah. Mujahidin di Afghanistan kemudian bergabung dengan Taliban untuk melawan pasukan Amerika Serikat yang datang ke sana sebagai penjajah. Presiden Bush lalu menyamakan Islam dengan terorisme dalam apa yang dikenal sebagai war on terror atau perang melawan teror yang ternyata adalah war on Islam atau perang melawan Islam.

Tampaknya Presiden Obama yang menggantikan Bush, ingin memperbaiki kesalahan itu. Pertanda itu bisa dilihat dari pernyataan Obama yang ingin memperbaiki hubungan Amerika Serikat dengan dunia Islam. Keinginan itu direalisasikan dengan kunjungan Presiden Obama ke Turki, Mesir, menyusul nanti Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Terlihat upaya serius dari Obama untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Karena itu hubungannya dengan pemerintahan kelompok garis keras yang kini memimpin Israel di bawah Perdana Menteri Benyamin Netanyahu menjadi bermasalah. Itu terutama karena pemerintah Israel terus membangun pemukiman di Yerusalem Timur dan Tepi Barat yang bertentangan dengan pendapat internasional. Dengan Obama yang berani bersikap terhadap Israel diharapkan perdamaian di Timur Tengah bisa direalisasikan.

Tapi di dalam negeri sendiri Obama menghadapi banyak masalah, termasuk tantangan dari kelompok-kelompok ekstrim semacam Hutaree yang sekarang berkembang-biak

kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88