Muhammad Sya'ban Abdurrahman

30 Juni 2011 silam, Muhammad Sya`ban Abdurrahman (18) mendatangi Polsek Bolo, NTB, pada dini hari dan mengaku akan melapor. Di saat bersamaan, ia langsung menusuk sebilah sangkur ke perut Brigadir Rokhmad yg sedang tugas piket. Korban bersimbah darah, dan tewas di tempat. Ia mengalami luka robek di perut.

Jika Polisi (Densus 88) masih terus bertindak arogan, membunuh-bunuhi muslimin dan se-wenang-wenang serta tidak segera dibubarkan, bisa jadi kejadian seperti di atas akan terus terulang. Akan terus terlahir Muhammad Sya`ban Abdurrahman - Muhammad Sya`ban Abdurrahman yang lainnya. Jangan salahkan Muhammad Sya`ban Abdurrahman, karena dia hanya membalas perlakuan "polisi" pada saudara-saudaranya sesama muslim. 

Bahkan tak tertutup kemungkinan, kejadian ini akan menular disetiap kota-kota besar di indonesia. Jika ini terjadi, maka setiap detik polisi dan keluarga polisi akan senantiasa terancam nyawanya. Sekali lagi jangan salahkan Muhammad Sya`ban Abdurrahman, sebab Densus 88 lah yang menciptakan permusuhan antara warga sipil dengan kepolisian.

Tugas Densus 88 : Membantai Muslim di Indonesia

Kesaksian Kartini Panggabean, istri Khairul Ghazali, tersangka terorisme yang di Tanjung Balai Medan yang ditembak saat sedang shalat, dipertanyakan berbagai kalangan.

Dalam sebuah rilisnya yang dikirim ke redaksi hidayatullah.com, Selasa malam (28/9), Centre for Indonesian Reform (CIR) mempertanyakan kinerja Densus 88.

CIR, melihat, ada ambiguitas mencolok pada korps burung hantu yang mengulang kasus penembakan tersangka Ibrahim.

“Ambiguitas mencolok saat terungkap penyergapan di Medan bermasalah karena tersangka tidak melakukan perlawanan, bahkan sedang shalat. Mengapa ditembak mati, apa bahayanya? Tragedi penyerbuan Temanggung terhadap tersangka Ibrahim dikeroyok ratusan aparat terulang lagi, ” tulis Direktur Eksekutif CIR, Sapto Waluyo.
Agar kejadian seperti ini tidak terus berulang, pihaknya meminta DPR melakukan evaluasi atas kinerja Densus 88.

“DPR harus mengevaluasi total Densus 88 via Panitia Khusus (Pansus) sejalan terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),” tambah Sapto.

Lebih jauh, CIR mengatakan, Densus adalah bagian dari aparat penegak hukum yang dimiliki Polri. Seharusnya, tugasnya bukan menembak mati tersangka, namun hanya menangkap dan menyerahkan ke pengadilan saja.

“Karena Densus itu bagian dari Polri sebagai aparat penegak hukum. Tugas utamanya menangkap tersangka teroris untuk dibawa ke pengadilan agar bisa dibongkar jaringan ke akarnya. Kalau menembak mati, serahkan saja kepada Kopassus yang punya Detasemen khusus anti-Teror sejak lama teruji, “ ujar Sapto.

admin berkata :
Kebrutalan, keganasan, dan pembunuhan oleh densus 88 akan terus terulang. Karena memang densus 88 dibuat untuk membunuh-bunuhi Ummat Islam Indonesia yang mengerti dan mempraktekkan agamanya. 

kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88

Judicial Killing By Densus 88

KontraS Sumut dan InsideS mengecam keras atas tindakan penyerangan yang dilakukan tim Densus 88 AT Polri, yang terjadi di Tanjung Balai dan Hamparan Perak, yang menyebabkan tewasnya 3 orang yang masih diindikasikan, sebagai pelaku perampokan CIMB Bank Niaga. Ketiga yang tewas tersebut Deni alias Ajo, Juki Wantoro alias Rojer, Ridwan alias Iwan. Dari 33 orang yang diduga sebagai pelaku perampokan, telah tertangkap sebanyak 18 orang.

Selain ikut turut berduka cita atas terbunuhnya 3 orang anggota Polisi di Mapolsek Hamparan Perak dalam penyerangan pada pukul 01.45 WIB tanggal 22 September 2010 oleh sekelompok pelaku bersenjata, KontraS Sumut dan InsideS ikut kecewa dengan sikap “brutal” Densus.

“Hal ini kami menganulir sebagai salah satu dampak negatif praktik brutalisme Densus 88 dalam menjalankan tugasnya yang tidak mengacu pada konsep-konsep HAM yang telah diatur dalam Perkap Kapolri Nomor 8 Tahun 2009,’’ tegas Diah dikutip JPPN.

KontraS dan InsideS menilai ada beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Densus 88 dalam melakukan penyerangan di Tanjung Balai dan Hamparan Perak.

’’Konsep yang diterapkan adalah konsep perang pembunuhan dan pembantaian, bukan langkah-langkah preventif yang seharusnya melumpuhkan. Terdapat praktik Judicial Killing oleh Densus 88 AT Polri.
Kebengisan dan kebrutalan Densus 88 AT membentuk citra negatif kepolisian. Penyerangan Densus 88 AT tidak berbasis HAM dan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM sebagaimana diatur dalam perkap Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sebelum ini, pengamat Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga dosen hukum Universitas Indonesia (UI) Heru Susetyo mengatakan, tersangka teroris sekalipun harus diperlakukan dengan adil dan fair, apalagi proses hukum dan peradilan terhadap mereka belum dimulai.

Ia juga menilai, kiprah Densus 88 sudah lama keluar dari rule of law dan praduga tak bersalah (presumption of innocence).

“Densus seperti superbody yang di atas hukum dan di atas KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata),” tambahnya.

Menurut Heru, seharusnya, proses penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan, harus sesuai dengan KUHAP dan memperhatikan azas hukum lain, seperti antipenyiksaan (Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan/Convention Against Torture pada tahun 1998) dan tetap memperhatikan kehormatan martabat, keadilan, proses hukum yang fair seperti yang dimandatkan oleh International Covenant on Civil and Political Rights. Di mana Indonesia telah meratifikasinya dengan UU No. 12 tahun 2005

kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88

Setelah Cuci Tangan, SBY pun Murtad

AKHIRNYA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat bicara juga soal terorisme. Sebelumnya, lewat Jubir Presiden, Julian A Pasha, menyatakan bahwa Presiden SBY sudah mengetahui perihal penangkapan Abubakar Ba’asyir melalui Kapolri hari Senin (9/8). Sebelumnya, juga dijelaskan bahwa penangkapan tersebut bukan intruksi dari SBY. Dalam rapat Kabinet di Sekretariat Negara, SBY bahkan kembali mengatakan bahwa kasus terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama maupun politik.

"Saya tidak pernah membawa terorisme ke politik, karena bukan politik."

"Dan kita tidak boleh mengaitkan teroris dengan agama, karena itu bukan agama," ujar SBY.

SBY juga mempercayakan kepada penegak hukum untuk menangani dengan cara tepat, profesional, akuntabel, dan dapat dijelaskan kepada publik. Bahkan menambahkan bahwa masalah ini sensitif dan sering melahirkan salah paham di antara masyarakat terhadap apa yang dilakukan penegak hukum.

Jejak Sikap SBY

Rasanya kelewat wajar kalau sebagian orang mengkritik sikap SBY yang ambigu. Bahkan ada yang mengatakan lebay. Dalam kasus terorisme, masih terekam beberapa jejak sikap SBY yang ditampilkan di hadapan publik yang menunjukkan ambiguitasnya.

Menjelang Pemilu Presiden di tahun 2009 silam, SBY mengomentari peristiwa bom di JW Marriott dan The Ritz Carlton, 17 Juli 2009. SBY mengatakan secara eksplisit, dirinya termasuk salah satu target incaran penembakan oleh kelompok yang ingin menggagalkan pemerintahan yang demokratis.

“Berdasarkan laporan intelijen, ada upaya yang sistematis menggagalkan kelangsungan pemerintahan yang demokratis ini,” ungkap SBY merespon tragedi pengeboman di kawasan Mega Kuningan 17 Juli 2009.

Hal yang sama sebelum penangkapan orang-orang yang diduga teroris dan kemudian disusul penangkapan ustad ABB, SBY juga mengeluh menyatakan dirinya menjadi sasaran kelompok teroris. “Saya dapat laporan tadi malam dari jajaran pengamanan, ada di antara anak bangsa yang punya niat tidak baik yang sekarang ada di sekitar Ciwidey,” ujarnya. (Detiknews, 7/10/2010).

Di tahun 2010, tepatnya di bulan Mei Presiden SBY juga mengeluarkan pernyataan terkait kasus terorisme juga. Dalam keterangan persnya di Bandara Halim Perdanakusumah, Senin (17/5/2010) sebelum bertolak ke Singapura dan Malaysia, Presiden SBY menegaskan tujuan dari para teroris adalah mendirikan negara Islam. Padahal, menurut SBY, perdebatan tentang pendirian negara Islam sudah rampung dalam sejarah Indonesia. Aksi teroris juga bergeser dari target asing ke pemerintah. Ciri lain, menurut Presiden, para teroris menolak kehidupan berdemokrasi yang ada di negeri ini. Padahal, demokrasi adalah sebuah pilihan atau hasil dari sebuah reformasi. Karena itu menurut Presiden keinginan mendirikan negara Islam dan sikap antidemokrasi, tidak bisa diterima rakyat Indonesia.

Di satu sisi kita memang bisa menyaksikan keberanian luar biasa pihak Polri menangkap kesekian kalinya ustad ABB. Sebagian pihak menganggap tentu langkah ini dengan pertimbangan matang dan tidak gegabah. Terutama ketika Polri merasa memiliki bukti (data) yang meyakinkan untuk kembali menjerat Ustad ABB. Dan akan menjadi beban moral yang sangat besar sekiranya kalau aksinya kali ini tidak bisa membuktikan di depan pengadilan. Sebaliknya, jika mampu menunjukkan itu, tidak menutup kemungkinan Ustad ABB akan dikenakan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Dengan tuduhan pasal berlapis UU Terorisme, yakni, pasal 14 jo pasal 7, 9, 11, dan atau pasal 11 dan atau pasal 15 jo pasal 7, 9, 11, dan atau pasal 13 huruf a, huruf b, huruf c UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ancaman maksimalnya hukuman mati.

Jika ini sukses, maka bisa dipastikan, pemerintah AS, Australia, Singapura dan sekutu AS lainnya, akan mengulum senyum dan memberi warning bahwa tugas ‘kontra-terorisme’ tidak boleh berhenti sampai di situ.

Di sisi lain yang tidak bisa diabaikan bahwa selama ini narasi tentang terorisme datangnya dari sepihak (Polri). Lebih khusus datang dari Densus 88, wabil khusus lagi di sana ada Satgas Antiteror di luar “struktur” yang dikendalikan oleh Gories Mere, sekalipun saat ini dia ada di BNN (Badan Narkotika Nasional).

Dan disinyalir karena kedekatan Gories Mere dengan Karni Ilyas (TV One), menyebabkan isu terorisme masuk barisan terdepan untuk news update berita di TV One.

Oleh karena itu, pada konteks ini penanganan kasus terorisme ini patut diduga sarat rekayasa, seperti pada kasus-kasus besar yang menghantam institusi Polri. Misalkan pada kasus rekening gendut, Century gate, markus, dan semisalnya. Maka jika benar ada dugaan itu, akan susah membedakan lagi mana yang salah dan mana yang benar.

Lebih-lebih aksi kontra-terorisme selama ini sering dituduhkan olah banyak pihak sebagai ‘proyek yang berkelindan di dalamnya kepentingan asing’ dan dijadikan ajang menunjukkan ‘prestasi’ mencari dana atau langkah pengalihan isu oleh para “komprador” asing dan kelompok opurtunis lokal.

Pertanyaan untuk SBY

Perlu kiranya SBY menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut, sekiranya betul bahwa isu terorisme adalah murni kejahatan dan masuk ranah hukum. Atau terorisme bukan persoalan politik, juga bukan masalah agama, sebagaimana yang baru saja ia sebutkan.

Pertama, kalau ada pernyataan penangkapan ustad ABB bukan intruksi SBY sebagai Presiden, maka artinya ada distorsi dalam penegakan hukum. Aneh jika Presiden menyatakan terkejut dengan penangkapan ABB, padahal Densus 88 berada di bawah kendali Polri, di mana institusi ini bertanggung jawab langsung kepada presiden. Jadi Densus bekerja untuk siapa?

Sementara dari tahun 2003-2009 Polri sudah menangkap lebih dari 500 orang dalam kasus terorisme. Dan di masa pemerintahan SBY banyak orang mati. Sekitar 40 orang dieksekusi dengan cara “ekstra judicial killing”. Dan minim sekali suara yang berteriak untuk mengatakan ini adalah “kezaliman” atau pelanggaran HAM. Para penggiat HAM juga setengah hati, menyikapi soal korban proyek kontra-terorisme ini.

Kedua, bukankah kontra-terorisme telah diadopsi SBY menjadi salah satu prioritas 100 hari kerja pemerintahannya? Diupayakan lahirnya blueprint penanganan secara komprehensif, yang terbaru dengan dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Peraturan Presiden no 46 tahun 2010 yang ditandatangani SBY pada 16 Juli lalu, sekaligus ini bukti implementasi komitmen SBY yang pernah dibicarakan bersama Presiden AS Obama tentang terorisme.
Kalau sudah seperti ini, apakah sebagai Presiden tidak tahu menahu bagaimana langkah demi langkah, tahapan demi tahapan yang akan dioperasikan institusi terngait yang notabene-nya semua di bawah kendali Presiden? Bahkan kita yakin, target-target antara dan puncak target dari proyek kontra-terorisme SBY juga mengetahui. Jika SBY tidak mengetahuinya, memangnya beliau anak buahnya siapa?

Ketiga, jika Presiden SBY menyatakan kasus terorisme tidak ada relevansinya dengan persoalan politik atau tidak akan menggeret ke ranah politik. Lantas, kenapa juga membicarakan tentang motif “negara Islam” dan terancamnya “demokrasi” dalam konteks ini?

Kelompok yang dicap “teroris” hendak mendirikan negara Islam, dan SBY sendiri memberikan prespektifnya bahwa wacana negara Islam bagi Indonesia sudah menjadi sejarah masa lalu. Begitu juga, tentang ancaman kelompok tersebut terhadap kelangsungan demokrasi.

Di sisi lain, SBY menempatkan dirinya sebagai obyek yang terancam dan pernah mengkaitkan kelompok terorisme terhadap kelangsungan Pemilu di tahun 2009. Ambigu bukan? Atau mungkin ada tafsiran lain tentang politik versi Presiden SBY?

Keempat, kalau SBY menjelaskan kasus ini adalah kejahatan dan tidak terkait dengan agama, maka ada pertanyaan penting lain. Mengapa SBY tidak pernah menegur insan media yang sedemikian rupa membangun opini dan persepsi masyarakat secara kontinyu dan simultan yang menstigmatisasi Islam dengan teroris?

Contoh terbaru upaya membangun stigma negatif terhadap Islam, salah satunya tampak dari pemberitaan detik.com dengan judul: “Penggerebekan Teroris di Bandung, Ditemukan Lembaran Kertas Arab Gundul Soal Hijrah dan Jihad.” (Detik.com , 8/8/2010). Di mana dilaporkan dalam mobil milik Fahri, yang ditangkap Densus 88 karena diduga “teroris”, ditemukan ceceran kertas berisi tulisan Arab gundul, antara lain soal kumpulan fatwa Ibnu Taimiyyah soal jihad, hijrah, dan dakwah. Lebih lanjut dilaporkan, ceceran kertas itu ada yang berupa tulisan tangan dan berupa print out, dengan beragam ukuran. Semua berisi tulisan Arab gundul.

Wartawan memang tidak salah, tapi pencantuman istilah Arab, fatwa Ibnu Taimiyyah, jihad, hijrah, tentu bukan tanpa motif. Sebab pasti ada niat tersembunyi di dalamnya. Jika setiap orang membawa kitab Arab gundul dan buku-buku Ibnu Taimiyyah soal jihad, hijrah dan dakwah itu “teroris”, mengapa tak sekalian saja datang ke ribuan pondok pesantren di Indonesia yang jelas-jelas berceceran kitab-kitab Arab gundul untuk menemukan “teroris”?

Contoh lain, mantan PM Inggris Tony Blair, di hadapan Konggres Partai Buruh pernah menyatakan Islam sebagai ideologi iblis (BBC News, 16 Juli 2005) dengan ciri-ciri : (1) ingin mengeliminasi Israel ; (2) menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum; (3) menegakkan khilafah; (4) bertentang dengan nilai-nilai liberal.

Dan apakah presiden SBY tidak pernah merasa adanya fakta pengkambinghitaman Islam dan kaum muslimin dalam persoalan ini? Seharusnya SBY sadar, betapa umat Islam di Indonesia nyaris tidak bisa memberikan pembelaan, bahkan menerima kekalahan (apologis) dengan istilah “teroris” itu yang identik dengan; orang berjenggot, celana cingkrang, gamis, cadar, jidat hitam, orang yang sering aktif ke masjid, pengajian-pengajian kecil, pesantren, atau aktifis yang mengusung penegakkan syariat dalam koridor negara, atau ketika menempatkan AS adalah musuh Islam.

Peran media dan wartawan, sudah sangat jelas-jelas mengkaitkan agama dengan isu “teroris”, tapi oleh SBY umat Islam dilarang mengkaitkan hal itu. Adilkah hal seperti ini?

Lebih jauh, kalau mau jujur, bukankah ketika pihak penegak hukum dan lebih khusus Densus 88 atau Satgas Anti Teror ketika melakukan pemetaan (maping) tentang ancaman, baik dalam kontek global atau lokal (Indonesia), maka kesimpulanya adalah Islam sebagai ancaman? Lebih spesifik lagi Islam ideologis, atau gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok yang mengusung Islam sebagai ideologi, bukan Islam moderat atau Islam Liberal. Lantas bagaimana bisa SBY mengatakan bahwa perkara terorisme tidak terkait agama? Aneh bukan?

Kelima, di institusi yang terkait dengan proyek kontra-terorisme di bawah Kementerian Polhukman, terlihat paradigma yang dibangun ketika berbicara tentang terorisme selalu dikaitkan dengan pemahaman agama yang dianggap radikal dan fundamentalis. Karenanya perlu langkah-lengkah deradikalisasi dengan beberapa strategi yang soft, misalkan dengan mengarusutamakan tokoh-tokoh Islam moderat, menggalakkan interfaith dialog (dialog antar iman), diterbitkannya buku-buku yang moderat, dan mengubah kurikulum pesantren atau sekolah, serta strategi lainya yang semuanya dianggap bisa mempertahankan format Indonesia yang pluralis, liberal, demokratis yang berdiri di atas ideologi kapitalis-sekuler. Amat mudah mencari statemen tokoh, pakar, buku atau makalah tentang hal itu.

Maka bagaimana SBY menjelaskan ini semua? Rakyat semua ingat, sikap yang ditampilkan SBY di hadapan publik selama ini adalah mengedepankan dialog dalam menyelesaikan persoalan, lantas bagaimana dengan persoalan “teroris”. Beranikah SBY dialog dan debat terbuka dengan kelompok-kelompok yang dicap “radikal” dan “fundamentalis” untuk bicara problem kenegaraan dan politik secara fair dalam rangka mencari solusi terbaik untuk Indonesia, sehingga SBY dan jajaran di bawahnya tidak selalu su’udzan dengan apa yang diperjuangkan oleh kelompok tersebut.

Sekali lagi, wajar kalau akhirnya Presiden SBY dianggap sangat ambigu dalam kasus “terorisme” ini atau bahkan terkesan mau “cuci tangan”. Semoga semua pemimpin institusi yang terlibat proyek kontra-terorisme it, kalau mereka orang muslim, masih tersisa iman dan Islamnya, hingga sadar tidak ada satu pun perkataan yang keluar dari mulut mereka, kecuali ada dua malaikat yang mencatatnya dan hisab Allah SWT adalah seadil-adil hisab.

Umat Islam Indonesia butuh pemimpin yang bisa melindungi agama dan harga dirinya, bukan sebaliknya. Yakni pemimpin yang jadi “hamba” dari penguasa imperialis dan mendzalimi umatnya sendiri.

kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88

Densus 88 : Justifikasi Pembunuhan Muslim Indonesia

Ada fenomena aneh di balik kisah keganasan dan kebrutalan Detasemen Khusus 88 membekuk para "teroris" dua bulan terakhir ini. Yaitu, hampir semua"teroris"-nya mati tertembak ataupun terbunuh dengan cara lain. Pasca peledakan hotel J.W. Marriot dan Ritz Carlton tanggal 17 Juli 2009, tak kurang dari sembilan"teroris" yang dianggap berperan langsung dan tidak langsung telah terbunuh.

Ibrohim, florist hotel Ritz Carlton terbunuh pada 8 Agustus 2009 di Temanggung, dalam drama pengepungan yang diliput banyak media massa. Pada hari yang sama Air Setiawan dan Eko Sarjono juga ditembak hingga tewas di Bekasi. Pada 16 September 2009, masih di bulan Ramadhan, empat ‘teroris’ termasuk buruan nomor wahid, Noordin M. Top, terbunuh dalam drama baku tembak di Solo. Kemudian, yang masih gres, dua buronan utama, kakak beradik Syaifuddin Zuhri dan Mohammad Syahrir, menjemput ajal di ujung senapan Densus 88 di Ciputat. Persis menjelang shalat Jum’at 9 Oktober 2009.

Banyak pihak mengacungkan jempol terhadap ‘prestasi’ Densus 88. Memang, dari sisi produktivitas pemburuan "teroris", Densus 88 amat sangat produktif. Sembilan buron tewas hanya dalam kurun waktu dua bulan. Buronan nomor wahid pula.

Permasalahannya adalah, haruskah mereka dibunuh? Layakkah mereka dibunuh? Tak ada cara lainkah untuk mengakhiri perburuan dan mengungkap misteri terorisme ini selain dengan pembunuhan?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pertanyaan yang lebih mendasar adalah, benarkah mereka yang terbunuh itu benar-benar "teroris"? Kalaupun benar "teroris" apakah mereka memang harus dibunuh?

Tanpa berpretensi untuk membela terorisme, sistem peradilan pidana Indonesia, dan juga hampir semua sistem peradilan di negara yang sehat demokrasinya, dan tegak rule of law-nya, memegang teguh asas ‘presumption of innocence’ alias ‘praduga tak bersalah.

Seseorang bisa jadi mencurigakan, bisa jadi tertangkap basah, bisa jadi memiliki ciri dan identitas yang cocok dengan pelaku kejahatan tertentu, ataupun menjadi buron karena alat-alat bukti dan saksi mengarah padanya, namun tetap saja ia tak dapat disebut sebagai bersalah sebelum pengadilan menyidanginya dan hakim menyatakan bersalah dan kemudian menghukumnya. Dan ini pun belum akhir perjalanan. Sang terhukum masih berpeluang mengajukan banding ke pengadilan tinggi, Kasasi dan Pengajuan Kembali ke Mahkamah Agung, hingga permohonan grasi ke Presiden.

Tidak semua saksi adalah tersangka. Tidak semua tersangka kemudian berkembang menjadi terdakwa. Tidak semua terdakwa menjadi terpidana. Dan tidak semua terpidana benar-benar menjalani hukuman sesuai yang dijatuhkan. Termasuk, tidak semua terpidana benar-benar melakukan tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya. Banyak kasus salah tangkap, salah tahan, salah mendakwa, bahkan sampai salah menghukum.

Kendati demikian, proses peradilan harus dihormati. Karena di forum tersebutlah alat-alat bukti dan saksi diuji dan dipertukarkan keterangannya. Di majelis yang mulia itulah informasi dan keterangan terdakwa, saksi maupun korban dan ahli diperdengarkan.

Apabila para"teroris" telah menjemput ajalnya, instrumen dan media seperti apa yang dapat membuktikan bahwa mereka benar-benar "teroris"? Apalagi definisi tentang terorisme sendiri begitu banyak dan sangat bias. Ditingkahi pula oleh Undang-Undang Anti Teroris yang menyimpangi asas keadilan, utamanya dalam penangkapan dan proses penahanan yang berlangsung di luar kelaziman dalam hukum acara pidana dan nyata-nyata melanggar HAM.

Kalaupun benar mereka adalah teroris, maka pengadilan pun bisa mengungkap lebih jauh tentang motif, tujuan, peta jaringan, peran yang dimainkan, hingga unsur kesalahan masing-masing individu. Hukuman dapat dijatuhkan sesuai dengan peran dan derajat kesalahan serta tanggungjawab yang diemban setiap individu. Tentunya, hukuman untuk mastermind amat berbeda dengan mereka yang hanya ikut-ikutan. Hukuman bagi perencana, pemberi order, ataupun pelaku utama amat berbeda dengan mereka yang terseret karena keliru memilih teman dan berada di tempat dan waktu yang salah. Palu hakim masih memberikan beberapa pilihan. Sangat berbeda dengan laras senapan senapan polisi yang seringkali tanpa kompromi dan tak pula bertelinga.
Publik pun mengakui hal ini. Jasad dari Dani Dwi Permana dan Nana Ikhwan Maulana, keduanya dituding sebagai pelaku pemboman di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009, tak ditolak warga untuk dimakamkan di daerah tempat tinggalnya, karena beranggapan mereka hanyalah korban indoktrinasi dan bukannya perencana utama. Amat berbeda dengan reaksi warga setempat yang menolak pemakaman para ‘senior’ mereka di kediamannya masing-masing.

Mengapa Amrozi, Imam Samudera, Mukhlas, dan Ali Imron dapat tertangkap tanpa harus terbunuh? Mengapa dua buronan besar seperti Hambali (tertangkap di Ayutthaya Thailand tahun 2003) dan Umar Al Faruq (tertangkap di Bogor tahun 2002) dapat diciduk oleh pasukan Amerika Serikat dan Indonesia tanpa harus membunuh mereka?

Dalam kasus lain, dua pemimpin Serbia dan jagal perang Balkan (1992–1996) yang bertanggungjawab atas genocide dan crime against humanity di Bosnia, Serbia dan Croatia, masing-masing adalah Slobodan Milosevic dan Radovan Karadzic, dapat ditangkap kemudian diadili pengadilan khusus di The Hague tanpa harus membunuh mereka. Ketika divonis pun, Milosevic ‘hanya’ mendapatkan hukuman seumur hidup, bukannya hukuman mati. Ia sendiri yang menjemput ajal di penjara karena sakit. Bukan atas peran fire squad, lethal injection, ataupun tiang gantungan.

Timothy McVeigh, "teroris" berkulit putih asli Amerika yang terbukti membom gedung federal (FBI) di Oklahoma City pada tahun 19 April 1995 dan menewaskan 168 rakyat tak berdosa, dapat ditangkap polisi Amerika tanpa harus membunuhnya. Padahal, ia memiliki kemampuan yang menakutkan, karena merupakan veteran tentara yang pernah terjun di Perang Teluk. Kendati kemudian ia dihukum mati pada tahun 2001, uniknya, banyak keluarga korban yang justru tak rela ia dihukum mati. Mereka mengatakan, apabila Tim Mc Veigh dihukum mati adalah sama artinya dengan mengulang kesalahan yang sama. Yaitu kembali mengulang kejahatan pembunuhan yang tak perlu, namun kali ini pelakunya adalah negara.

Maka, mengapa Ibrohim, Eko Joko Sarjono, Air Setiawan, Bagus Budi Pranoto, Hadi Susilo, Ario Sudarso, Noordin M. Top, Syaifuddin Zuhri dan Muhammad Syahrir harus dibunuh? Tak dapatkah polisi mengulang kisah ‘sukses’penangkapan Amrozi dkk? Pengadilan terhadap Amrozi dkk, sedikit banyak dapat mengungkap unsur pertanggungjawaban pidana setiap tersangka, derajat keterlibatan dan kebersalahannya, peran yang dimainkan dan seterusnya.

Anehnya, baik aparat, birokrat, maupun masyarakat cenderung menjustifikasi kematian para "teroris" tersebut. Tak ada reaksi luar biasa yang menentang ‘pembunuhan’ tersebut. Seolah-olah mereka memang layak untuk ditewaskan dengan cara demikian. Padahal, dengan tewasnya para tersangka "teroris" tersebut, maka sekian istri telah menjadi janda, sekian anak telah menjadi anak-anak yatim, sekian banyak orangtua tak percaya telah kehilangan anak tercintanya yang susah payah dibesarkan sejak bayi.

Yang lebih mengerikan, bagi keluarga, stigma sebagai "keluarga teroris" akan menghantui mereka seumur hidup. Bentuk hukuman sosial dari masyarakat yang tak dapat diklarifikasi karena aktor utamanya telah tewas. Maka, sang istri akan menyandang predikat istri teroris. Sang anak sebagai anak teroris. Ayah dan Ibu sebagai orangtua teroris. Paman dan Bibi menyandang predikat paman dan bibi teroris. Kampung yang didiami akan berpredikat kampung teroris. Luka sosial yang mesti diemban seumur hidupnya tanpa ada kemampuan membela diri.

Bila demikian halnya, tipis saja perbedaan antara negara, masyarakat, dan Noordin M. Top dkk. Ketiganya adalah sama-sama ‘teroris’, namun memainkan peran yang berbeda. Negara berpotensi menjadi ‘teroris’ karena menjalankan praktik ‘state terrorism’ . Antara lain dengan sewenang-wenang mengangkangi proses hukum dan ‘rule of law’ dalam proses penangkapan dan pelumpuhan tersangka "teroris".

Masyarakat pun berpotensi menjadi "teroris" apabila begitu saja menjatuhkan stigma "teroris" dan menjatuhkan penghukuman sosial kepada para ‘tersangka teroris’ dan keluarganya, tanpa ingin mengklarifikasi lebih jauh dan memberikan kesempatan kepada "keluarga teroris" untuk membela diri dan memperbaiki hidupnya.

kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88, kaki tangan kafir

Densus 88 : Bentukan Negara Kafir Untuk Hancurkan Muslim Indonesia

Sejak Obama terpilih di Amerika Serikat tumbuh subur kelompok Kristen ekstrim dan radikal, serta ultra-nasionalis yang rasis. Salah satunya, Hutaree, yang baru saja diberangus FBI

Sudah 15 tahun berlalu namun tragedi ini belum bisa dilupakan. Ketika itu, 19 April 1995, sebuah bom seberat 2 ton meledakkan Alfred Murrah Building, gedung pemerintah federal Amerika Serikat di Oklahoma City, membunuh 168 orang, termasuk 19 anak-anak, dan melukai lebih 800 orang.

Guna memperingatinya, Bill Clinton, Presiden Amerika Serikat pada waktu peristiwa itu terjadi, menulis di koran The New York Times edisi 19 April 2010, mengungkap bahwa pada bulan-bulan atau tahun sebelum bom meledak di sana tumbuh kelompok minoritas yang ekstrim, yang mempercayai ancaman terbesar bagi kebebasan Amerika adalah pemerintah, dan pegawai pemerintah tak melindungi kebebasan melainkan merusaknya. Dengan kata lain: mereka anti-pemerintah.

Sesungguhnya tak ada masalah dengan sikap itu. Warga Amerika, tulis Clinton, memiliki hak kebebasan yang lebih dibanding warga negara lain di dunia termasuk kapasitas untuk mengkritik pemerintah atau pejabatnya. Yang tak boleh dilakukan, menurut mantan Presiden tersebut, adalah penggunaan kekerasan atau ancamanan kekerasan tatkala ada keinginan yang tak tercapai. Dan itulah yang terjadi dalam pengeboman Oklahoma City, peristiwa teror dengan korban terbesar di Amerika Serikat setelah pengeboman Menara Kembar WTC New York, 11 September 2001.

Timothy McVeigh, pelaku pengeboman itu adalah simpatisan David Koresh, pemimpin sebuah sekte Kristen yang menyempal yang disebut Cabang David (Branch Davidian) di Waco, Texas. Koresh mengaku sebagai nabi kepada para pengikutnya. Dengan alasan kelompok sempalan ini menyimpan senjata gelap pada 19 April 1993, pasukan polisi federal FBI menyerbu Waco, menyebabkan David Koresh dan 74 pengikut terbunuh, termasuk sejumlah anak-anak.

Beberapa minggu sebelumnya, Maret 1993, McVeigh mengunjungi Waco. Ia sempat menyaksikan sendiri kompleks itu telah dikepung polisi federal. Maka persis dua tahun setelah peristiwa Waco, veteran Perang Teluk I dan pemegang Bintang Perunggu (Bronze Star) ini, membalaskan dendamnya dengan meledakkan 2 ton bom di Gedung Federal. Penyerbuan Waco dan pengeboman Oklahoma City sama-sama terjadi pada 19 April.

Peringatan terhadap pengeboman itu bukan cuma dengan tulisan Bill Clinton. Senin, 19 April lalu, jaringan televisi kabel MSNBC yang liberal menyiarkan rekaman wawancara wartawan Lou Michel dengan McVeigh di dalam penjara dulu. Untuk diketahui, karena perbuatannya McVeigh sendiri dijatuhi vonis mati oleh pengadilan dan telah menjalani eksekusi pada tahun 2001.

‘’Sembilan tahun setelah eksekusi itu kini kita masih dihinggapi kekhawatiran akan gaung suara Timothy McVeigh dari dalam kubur dalam bentuk arus baru kebangkitan kelompok ekstrimisme anti-pemerintah,’’ kata Rachel Maddow, komentator MSNBC, yang memberi narasi dalam rekaman wawancara itu.

Kebangkitan kelompok ekstrimis? Begitulah. Sejak calon Partai Demokrat Barack Obama terpilih sebagai Presiden akhir 2008, terlihat tanda-tanda bangkitnya kembali kelompok-kelompok ektrim atau milisi revolusioner Kristen, yang dalam dua priode kepresidenan George Bush (Partai Republik) telah sempat mereda. Obama yang berkulit hitam di mata kelompok-kelompok ultra-nasionalis atau kelompok ektrim Kristen sungguh sulit diterima.

Paling tidak, begitulah hasil pengamatan Eilen Pollack dari University of Michigan, penulis buku Breaking and Entering, novel yang bercerita tentang gerakan kaum milisi (The New York Times, 19 April 2010). Ribuan kaum milisi, misalnya, 19 April lalu, dikabarkan berkumpul di Virginia memperingati pengeboman Oklahoma City.

The Ku Klux Klan, kelompok kulit putih paling rasis yang sudah berusia ratusan tahun, kini mulai terdengar lagi suaranya. Di Tennessee, kelompok itu dikabarkan membuat daftar 88 orang kulit hitam – salah satu di antaranya Obama – yang akan dijadikan target untuk dibunuh.

Maka penangkapan 9 pemimpin Hutaree di Michigan, Indiana, dan Ohio, akhir Maret lalu, cukup menggetarkan Amerika Serikat. Soalnya, inilah kelompok ekstrim Kristen – dengan 350-an anggota -- yang terus-terang memuat slogan di website-nya: bersiap menghadapi perang akhir zaman. Di website itu pula dijelaskan, Hutaree artinya pejuang Kristen (Christian Warrior). Tak jelas dari mana mereka peroleh kata itu.

Untuk itu kelompok ini sudah lama mempersiapkan pelatihan militer terhadap para pengikutnya di kawasan pedesaan atau daerah terpencil terutama di tiga negara bagian, Michigan, Indiana, dan Ohio. Bila diperhatikan sejumlah rekaman video yang diperoleh polisi, pelatihan Hutaree mirip dengan yang dilakukan sekelompok orang di Aceh baru-baru ini, yang kemudian oleh polisi dituduh sebagai teroris. Pada waktu berlatih milisi Hutaree menggunakan seragam loreng tentara dilengkapi senjata api laras panjang.

Dalam dokumen di pengadilan diketahui anggota Hutaree percaya hanya dengan kekerasan (sesuai pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Bible) mereka bisa menjalankan perintah Tuhan. Oleh karenanya mereka mempersenjatai diri dan melakukan pelatihan untuk menghadapi perang melawan anti-Kristus yaitu setan, orang Yahudi, dan Muslim.

Kriteria Terorisme

Sebelum memasuki perang yang sesungguhnya melawan setan, Yahudi, dan Muslim, ternyata dari bukti-bukti yang dikumpulkan FBI, kelompok ini punya rencana melakukan pembunuhan terhadap polisi sebagai aparat hukum dengan harapan akan terjadi konflik bersenjata yang meluas.

Diketahui pada Februari lalu, Hutaree mengadakan pertemuan anggota di Lewanee County, kota kecil di barat daya Detroit, ibukota negara bagian Michigan. Tampaknya di sinilah rencana disusun. Mula-mula kelompok ini akan membunuh polisi yang dipancing dengan panggilan darurat telepon nomor 911 (nine-one-one). Atau bisa juga mereka membunuh polisi yang sedang bertugas di lampu merah.

Menurut rencana, setelah polisi itu terbunuh mereka akan menunggu momentum pemakamannya. Pada saat itu akan banyak orang berkumpul – terutama polisi – tapi dengan tingkat kewaspadaan yang rendah. Pada saat itu Hutaree mengerahkan pasukan bersenjata guna membantai orang-orang yang sedang berduka-cita di pemakaman.

Dalam skenario ini, penyerangan juga dilakukan dengan menggunakan bom rakitan sendiri yang biasa disebut improved explosive devices (IEDs) – yang terkenal karena digunakan gerilyawan di Iraq untuk membunuh banyak tentara Amerika Serikat -- dengan maksud agar jumlah korban yang jatuh lebih banyak. Dari sini Hutaree akan menyatakan perang kepada pemerintah Amerika Serikat.

Tapi ternyata FBI bergerak lebih cepat. Sebelum semua rencana itu dimulai, 27 Maret malam, FBI meringkus David Brian Stone, pemimpin tertinggi kelompok ini yang biasa dijuluki Captain Hutaree. Setelah itu penyergapan dilakukan di tiga negara bagian tadi untuk meringkus para pemimpin kelompok lainnya.

Para tokoh Hutaree yang kini ditahan berjumlah 9 orang. Mereka dikenakan pasal rencana pembunuhan sampai yang terberat rencana menggunakan senjata pemusnah massal. ‘’Mereka ini adalah contoh kelompok radikal dan ektrim yang bisa ditemukan di dalam masyarakat. FBI menangani kasus kelompok ini dengan serius, terutama mereka yang ingin mengorbankan warga negara yang tak bersalah dan aparat hukum yang melindungi warga Amerika Serikat,’’ kata Andrew Arena, Agen Khusus FBI di Detroit (The New York Times, 29 Maret 2010).

Pertanyaannya sekarang: apakah mereka teroris? Bila diikuti pemberitaan di media Amerika Serikat, umumnya kelompok ini mereka juluki sebagai ektrimis atau radikal, tapi tidak teroris. ‘’Tak ada yang berani menjuluki mereka teroris,’’ tulis David Dayen di Firedoglake blog yang liberal.

Kenapa? Bukankah mereka berencana meledakkan bom yang akan membunuh penduduk sipil yang tak berdosa? ‘’Mereka Kristen, karenanya mereka tak bisa jadi teroris,’’ jawab Dayen sarkastis. Ada pula komentator yang menyampaikan protes bila kelompok ini disebut teroris. ‘’Apakah mereka Muslim?’’, katanya (lihat The New York Times, 2 April 2010).

Hal sama terjadi dalam kasus Joseph Stack yang menubrukkan pesawat Piper Dakota ke gedung pajak Internal Revenue Service (IRS) di Austin, Texas, Februari lalu, menewaskan seorang manajer selain sang pilot sendiri, serta menyebabkan kebakaran di sebagian gedung. Peristiwa ini juga bukan terorisme. Joseph Stack bukan orang Islam.

Berbeda dengan penembakan di Fort Hood, Texas, November lalu. Saat itu karena stress, Mayor Nidal Malik Hasan, seorang perwira di basis militer Amerika Serikat itu menembaki kawan-kawannya secara membabi-buta, menyebabkan 13 orang terbunuh dan 29 terluka. Media ramai menyebarkan peristiwa ini sebagai teror karena sang mayor seorang muslim.

Dari sini jelas kalau kriteria terorisme menjadi kacau-balau. Para pejuang kemerdekaan di Iraq dan Afghanistan otomatis semua menjadi teroris. Begitu pula para pejuang kemerdekaan Chechen yang ingin merdeka dari penjajahan Rusia, termasuk orang-orang Mindanao yang sejak dulu memberontak karena ketidak-adilan pemerintahan Manila.

Meski berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia pun tampaknya meniru Amerika Serikat. Polisi dengan gampang menuduh orang teroris. Coba, orang Islam yang terlibat dalam bentrokan di Poso, sekarang dituduh sebagai teroris. Tapi para penembak gelap di Kabupaten Puncak Jaya, Papua, yang sudah memakan sejumlah korban tak disebut teroris.

Padahal semua orang tahu kasus Poso adalah bentrok antar-agama dan perkaranya sudah sempat dibawa ke pengadilan. Ini bisa terjadi karena pasukan anti-teror Indonesia, Densus 88, dibentuk, dilatih, dan difasilitasi Amerika Serikat.

Padahal di tahun 1986 Presiden Ronald Reagan mengatakan bahwa pejuang kemerdekaan adalah mereka yang berjuang untuk membebaskan rakyatnya dari penindasan dan menegakkan pemerintahan yang merupakan refleksi dari keinginan rakyat.

Dengan kriteria seperti itu Presiden Reagan mendukung perjuangan kaum Mujahidin untuk mengusir tentara Uni Soviet dari Afghanistan. Reagan menyamakan semangat para pejuang Mujahidin dengan semangat para pendiri Amerika Serikat.

Tapi selama dua priode pemerintahan Presiden George Bush semua berubah. Mujahidin di Afghanistan kemudian bergabung dengan Taliban untuk melawan pasukan Amerika Serikat yang datang ke sana sebagai penjajah. Presiden Bush lalu menyamakan Islam dengan terorisme dalam apa yang dikenal sebagai war on terror atau perang melawan teror yang ternyata adalah war on Islam atau perang melawan Islam.

Tampaknya Presiden Obama yang menggantikan Bush, ingin memperbaiki kesalahan itu. Pertanda itu bisa dilihat dari pernyataan Obama yang ingin memperbaiki hubungan Amerika Serikat dengan dunia Islam. Keinginan itu direalisasikan dengan kunjungan Presiden Obama ke Turki, Mesir, menyusul nanti Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Terlihat upaya serius dari Obama untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Karena itu hubungannya dengan pemerintahan kelompok garis keras yang kini memimpin Israel di bawah Perdana Menteri Benyamin Netanyahu menjadi bermasalah. Itu terutama karena pemerintah Israel terus membangun pemukiman di Yerusalem Timur dan Tepi Barat yang bertentangan dengan pendapat internasional. Dengan Obama yang berani bersikap terhadap Israel diharapkan perdamaian di Timur Tengah bisa direalisasikan.

Tapi di dalam negeri sendiri Obama menghadapi banyak masalah, termasuk tantangan dari kelompok-kelompok ekstrim semacam Hutaree yang sekarang berkembang-biak

kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88

Terror Densus 88 Kepada Muslim Penimba Ilmu

Densus 88 menangkap 7 orang yang sedang berkumpul di kampus Ma’had Mushab bin Umair yang beralamat di Jl Warga No. 65, RT 007 RW 03, Pejaten Barat, Pasar Minggu. Penangkapan yang terjadi pada pukul 17.00 Kamis (6/5) sore, menurut saksi, tidak menyertakan surat penangkapan dan surat penggeledahan.

Menurut saksi mata Abbad, dirinya yang kebetulan sedang berkunjung ke kampus tersebut pada malamnya sekitar pukul 20.00 wib sempat diinterogasi dan direbut handphone serta KTPnya. “Saya dan KTP saya difoto-foto, juga handphone saya diambil, lalu diperiksa-periksa oleh petugas berpakaian preman. Mereka menanyakan keperluan saya datang ke sana. Petugas memfoto orang yang berada di ruangan serta memfoto suasana di dalam ruangan tersebut,” tutur Abbad.

Menurutnya, petugas juga sempat memberikan ancaman kepada dirinya dan beberapa orang yang juga sedang berkunjung. ”Petugas suruh saya pulang, jangan kembali ke sini lagi (Kampus Mush’ab bin umair), dan jangan bilang siapa-siapa! Kalau kalian kemari lagi ceritanya lain,” tandasnya.

Saksi juga menuturkan, biasanya setiap Rabu malam ada beberapa orang yang kuliah di situ. Juga sering diadakan kajian Qur’an dan hadist. “Saya nggak nyangka aja, kok polisi bisa-bisanya menangkap mereka yang kegiatannya nimba ilmu agama,” katanya.

Hingga hari ini (07 mei 2011) suasana kampus tersebut terlihat sepi dan tergembok. Di luar, segelintir wartawan masih terlihat berlalu lalang mencari berita.

Admin berkata : 
Tindakan semena-mena ini dilakukan untuk :
~ Membuat takut para muslimin yg menimba ilmu di Kampus Mush’ab bin Umair.
~ Sengaja dilakukan agar Kampus Mush’ab bin umair rusak citranya dimata para calon penuntut Ilmu.
~ Menanamkan ketakutan kepada pemuda-pemudi Islam.

kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88

Densus 88 : Akal-akalan Kafir Membantai Muslim Indonesia

SETELAH sekian tahun terus-menerus menerima puja dan puji, kini orang mulai mempertanyakan efektivitas kerja Markas Besar (Mabes) Polri menangani terorisme dengan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-teror. Betapa tidak?

Data yang disampaikan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri kepada pers Jumat, 24 September lalu, menyebutkan dalam 10 tahun ini polisi berhasil meringkus 563 tersangka teroris. Dari jumlah itu, 471 di antaranya telah diadili, 44 orang tertembak mati, 10 orang tewas melakukan aksi bom bunuh diri. Sejumlah tokohnya seperti Azhari, Noordin M. Top, dan Dulmatin, telah mati tertembak.

Anehnya, setelah begitu banyak teroris diringkus atau dilumpuhkan, ternyata aksi terorisme tak mereda. Jumlah teroris pun seakan bertambah saja mengikuti kata pepatah: mati satu tumbuh seribu. Malah kelompok teroris itu dinilai berhasil merampok Bank CIMB Niaga milik perusahaan asing di Medan di siang bolong tanpa sedikit pun bisa dihalangi aparat keamanan pada 18 Agustus lalu.

Belasan perampok bersenjata api itu sempat menembak mati seorang Brimob penjaga bank, lalu dengan santai berboncengan sejumlah sepeda motor membawa lari ratusan juta rupiah duit bank. Inilah pertama kalinya perampokan bank terjadi terang-terangan di siang bolong dan direkam kamera

Lebih dari itu, kelompok teroris bersenjata telah menyerbu kantor Polsek Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu dinihari, 22 September lalu. Aksi itu diduga adalah tindak pembalasan kelompok teroris atas penggerebekan dan penangkapan yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88, beberapa hari sebelumnya.

Penyerbuan itu menyebabkan tiga anggota Polri tewas: Aiptu Baik Sinulingga, Aipda Deto Sutejo, dan Bripka Riswandi. Sebelumnya, penggerebekan yang dilakukan Densus 88 terhadap kelompok yang dituduh teroris di Tanjung Balai dan Hamparan Perak (Sumatera Utara) serta Lampung, Minggu, 19 September 2010, telah menangkap 18 tersangka teroris, tiga di antaranya ditembak mati. Jadi kematian tiga kawanan teroris telah berbalas dengan terbunuhnya tiga polisi di Hamparan Perak.

Selama ini kelompok teroris pernah menyerang pos polisi. Di tahun 2005, misalnya, pos Brimob di Dusun Wailisa, Seram, Maluku, telah disatroni. Lima anggota Brimob dan seorang sipil terbunuh. April tahun ini, pos polisi di Purworejo, Jawa Tengah, juga diserang dan dua polisi terbunuh. Tapi kalau aksi balasan langsung, itu baru pertama kali terjadi, yaitu dalam kasus Hamparan Perak.

Keberhasilan kelompok teroris melakukan pembalasan kepada polisi, menurut mantan Kepala BIN Hendro Priyono, menunjukkan kelompok itu cukup kuat. ‘’Kalau tak cukup kuat, mereka tak akan berani unjuk gigi menyerang markas Polsek,’’ kata Hendro. Apalagi, serangan balasan dilakukan hanya berselang tiga hari setelah Densus 88 mengobrak-abrik ‘’sarang’’ mereka.

Pertanyaan besar sekarang: setelah ratusan orang ditangkap dan puluhan orang dibunuh, mengapa kelompok teroris tetap kuat dan mengancam? Ini jelas pertanyaan yang amat sulit dijawab. Tapi yang pasti ini adalah bukti kongkret kegagalan pemerintah yang dipimpin Presiden SBY dalam menangani terorisme.

Dalam penyerbuan kantor Polsek Hamparan Perak, diidentifikasi dari peluru yang ditemukan dan kesaksikan penduduk, bahwa kawanan itu terdiri dari belasan orang membawa setidaknya tiga jenis senjata: senapan serbu AK-47 atau AK-56, senapan serbu SS-1 atau M-16, dan pistol jenis FN. Senjata-senjata itu tergolong senjata polisi atau TNI. Memang AK sekarang sudah tak dipakai. Tapi senjata itu masih tersimpan di gudang-gudang Polri.

Surat dakwaan jaksa yang dibacakan di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, untuk mengadili mantan polisi Sofyan Tsauri, 23 September lalu, mengungkapkan bahwa senjata api yang digunakan kelompok teroris untuk berlatih di Aceh (kelompok Dulmatin), justru berasal dari gudang senjata Markas Besar (Mabes) Polri.

Pembobolan gudang senjata Polri dilakukan Sofyan melalui seorang anggota polisi lainnya bernama Ahmad Sutrisno yang bertugas di gudang senjata. Dengan gampang mereka membawa 24 pucuk senjata terdiri dari AR-15, AK-47, AK-58, revolver, SNW, FN-45, pistol Challenger, dan senapan buatan Amerika Serikat, Remington. Ada lagi 19.000 lebih peluru dan 93 magazin.

Menurut dakwaan jaksa, Sofyan Tsauri yang berpangkat brigadir polisi itu melakukan disersi dan diberhentikan pada 2009. Dia kemudian terpengaruh dan bergabung dalam kelompok teroris. Malah dalam suatu kesempatan pria 34 tahun itu melakukan wawancara dengan sebuah kantor berita asing, mengaku terus terang sebagai anggota jaringan al-Qaidah pimpinan Usamah Bin Ladin dan selalu melakukan kontak dengan kelompok Abu Sayaf di Filipina.

Tapi ada juga versi yang mencurigai Sofyan sebagai orang yang disusupkan intelijen. Kecurigaan itu terutama muncul karena gampangnya Sofyan memperoleh senjata dan dana. Dikabarkan ia amat pemurah dalam memberi uang saku kepada sejumlah anggota yang pernah ia latih di Aceh.

Selain itu kalau benar seorang disersi, bagaimana mungkin Sofyan dengan gampang keluar-masuk Markas Komando Brimob di Depok? Bukan hanya itu. Sofyan begitu mudah membawa anggotanya berlatih tembak (dengan senjata api) di Lapangan Tembak Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok.

Informasi ini dulu dibantah oleh sumber resmi Mabes Polri, tapi kini diakui di dalam surat dakwaan jaksa. Bisa Anda bayangkan: gerombolan teroris berlatih menembak justru di Lapangan Tembak Brimob dengan senjata dari gudang Mabes Polri. Sudah semestinya pimpinan Polri (termasuk Kapolri) mempertanggung-jawabkan peristiwa ini kepada rakyat, selain melakukan klarifikasi isu penyelusupan intelijen.

Pantaslah 23 September lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kapolri mengecek senjata dan amunisi di gudang-gudang TNI mau pun Polri, hingga pada satuan-satuan terkecil.

Pengecekan dimaksudkan agar penggunaan senjata mau pun amunisi dilakukan dengan tertib. Instruksi itu sebenarnya sudah amat terlambat, karena terbukti kelompok teroris memperoleh senjata dari gudang Mabes Polri.

Ada Komisaris Jenderal Goris Mere

Sebenarnya kegagalan pemberantasan terorisme di Indonesia tak lain karena pemerintah Indonesia tak bisa mandiri tapi menggantungkan diri kepada Amerika Serikat dan Australia. Detasemen Khusus (Densus) Anti-teror 88 milik Polri berdiri setelah terjadi peristiwa bom Bali pertama di tahun 2002. Densus itu memiliki 400 anggota di Jakarta dan ratusan orang terserak di 33 daerah (Polda), terutama di Provinsi Maluku dan Irian.

Aksi Densus tentu sudah sering disaksikan di layar televisi. Gaya mereka memegang senjata, menggiring para tersangka mirip tentara Amerika Serikat menggiring tahanan teroris di Teluk Guantanamo. Maka terlihat terlalu berlebihan ketika di televisi, terutama menyaksikan lagak dan gaya anggota Densus itu memperlakukan dan menangkap Ustadz Abubakar Basyir, seorang tua yang sudah sangat lemah.

Anggota Densus diberi pelatihan sepenuhnya oleh aparat intelijen Amerika Serikat (FBI/CIA) dan Australia (Australian Federal Police). Semua biaya perekrutan, pelatihan, dan peralatannya berasal dari bantuan kedua negara itu.

Dengan biaya berlimpah, pasukan anti-teror ini terlihat mewah di antara para anggota polisi dengan fasilitas seadanya. Di Jakarta, Densus memiliki kantor dan segala fasilitas yang dibangun di tahun 2004 atas biaya Australia sebesar 40 juta US dollar. Setiap tahun, pemerintah Australia melalui Australian Federal Police (polisi federal Australia) memberikan bantuan 16 juta US Dollar (lihat koran Australia, The Age, 13 September 2010). Ke mana-mana pasukan khusus ini menggunakan pesawat terbang sendiri, Boeing 737.
Selain itu bantuan datang dari Amerika Serikat melalui program anti-terorisme (Anti-Terrorism Assistance, biasa disingkat ATA) Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Program itu diadakan dalam rangka perang global melawan teror (global war on terror) yang diproklamirkan Presiden George Bush, beberapa pekan setelah serbuan teror 11 September 2001.

Karena tergantung bantuan asing maka satuan anti-teror itu tak membumi. Sekadar contoh, nama Densus 88 saja diambil dari jumlah warga Australia yang terbunuh dalam peristiwa bom Bali 1 sebanyak 88 orang. Mestinya nama pasukan khusus itu berhubungan dengan sesuatu yang bisa meningkatkan kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia.

Kemudian dalam aksinya Densus 88 terlalu mengandalkan kekuatan sendiri seakan urusan terorisme hanya monopoli mereka. Padahal kita memiliki pasukan TNI yang terlatih baik seperti Kopassus di TNI Angkatan Darat atau Marinir di TNI Angkatan Laut yang kemampuannya sebenarnya tak boleh diragukan. Malah untuk urusan tempur tentu mereka lebih berkapasitas. Apalagi Kopassus sudah sering berlatih menumpas teroris bersama pasukan elit Australia, SASR (Special Air Service Regiment), seperti yang terjadi di Denpasar, Bali, 27 September lalu.

Selain itu, pemberantasan teroris mestinya melibatkan para ulama dan tokoh masyarakat. Terorisme ada hubungannya dengan masalah ideologi yang tak mungkin bisa dibersihkan hanya dengan main tangkap atau main tembak.

Memang Densus 88 punya kehebatan tersendiri. Konon mereka punya keahlian menyadap atau memonitor pembicaraan telepon atau SMS. Mereka dikabarkan memiliki peralatan sadap yang canggih dari Australia. Konon beberapa tokoh teroris berhasil disergap berkat keberhasilan menyadap telepon mereka. Meski pun sebenarnya penyadapan-penyadapan telepon pribadi bisa dianggap melanggar hak azasi manusia.

Tapi karena selama ini merasa sukses menumpas terorisme tampaknya mulai ada beban bagi Satuan Anti-Teror ini. Di Lapangan Terbang Polonia Medan, 13 September lalu, sejumlah pasukan Densus 88 dikabarkan petantang petenteng menerobos area Delta tanpa pemberitahuan atau izin yang jelas. Tindakan mereka ditegur seorang petugas TNI Angkatan Udara. Itu malah membuat berang para anggota Densus karena menganggap Komisaris Jendral Goris Mere yang ada bersama mereka kurang dihargai petugas. ‘’Anda tahu di sini ada bintang tiga,’’ sergah seorang anggota Densus.

Insiden ini sempat menimbulkan gesekan antar-instansi. Komandan Lanud Medan Kolonel Pnb Taufik Hidayat, 16 September lalu, mengirim surat kepada Polda Sumatera Utara memprotes tindakan Densus yang masuk ke areal tertentu di lapangan terbang tanpa izin atau pemberi tahuan semestinya.

Peristiwa Medan mengungkap pula keterlibatan Komisaris Jenderal Goris Mere dalam pemberantasan terorisme. Padahal ia kini menjabat Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN). Apa hubungan narkoba dan terorisme? Jawabannya hanya akan membuat struktur kepemimpinan di kepolisian membingungkan.

Bukan hanya itu. Dalam menggerebek sejumlah sarang teroris di Tanjung Balai dan Hamparan Perak, dikabarkan Densus 88 tak berkordinasi dengan Polda Sumatera Utara, sehingga timbul gesekan di internal polisi. "Tindakan seperti itu menunjukkan sikap arogan, mereka (Densus 88) merasa seperti polisi nomor satu di Republik ini," kata Neta S. Pane, Presidium Indonesia Police Watch (IPW), LSM yang mengawasi kinerja polisi.

Terlibat Nama Presiden SBY

Sekarang tampaknya sudah saatnya pemerintah mengevaluasi sistem pemberantasan terorisme yang selama ini dipercayakan (hanya) kepada Densus 88, kreasi Amerika Serikat dan Australia itu. Apalagi belakangan pers dan LSM di Amerika dan Australia mulai menyerang dan menuduh Densus 88 melakukan tindakan pelanggaran HAM di Maluku dan Papua.

Koran Amerika Serikat, The Christian Science Monitor dan koran Australia The Age dan The Sydney Morning Herald kini rajin membongkar tuduhan pelanggaran HAM oleh Densus. LSM internasional terkemuka, Human Rights Watch dan Amnesty International pun sekarang kritis terhadap Densus 88. Maka tokoh-tokoh LSM Indonesia mulai mengamati perilaku Densus 88.

Selama ini kritik atas tindak kekerasan Densus sering disuarakan Forum Ummat Islam (FUI) tapi tak pernah didukung LSM-LSM. Pada 1 September lalu, misalnya, delegasi FUI ke Komisi III DPR mempersoalkan kekerasan oleh Densus. Terutama kekerasan dalam pemeriksaan, penangkapan atau penyergapan, tanpa alasan yang memadai. Para anggota Densus ringan tangan dalam membuang tembakan.

Sekarang koran dan LSM Amerika Serikat atau Australia kritis kepada Densus karena rupanya Densus bukan hanya memberantas terorisme (baca sebagai Islam) sebagaimana yang mereka harapkan tapi juga gerakan separatis di Maluku dan Papua seperti RMS dan OPM, yang melibatkan bukan orang Islam. Sudah jadi rahasia umum selama ini RMS dan OPM mendapat dukungan di Australia, sebagaimana halnya gerakan Fretilin di Timor Timur dulu.

Kebetulan dalam dua kasus RMS di Maluku terlibat nama Presiden SBY sehingga isunya semakin menarik. Yang pertama adalah penangkapan puluhan penari Cakalele di stadion di Ambon, dalam sebuah upacara 29 Juni 2007, dihadiri langsung oleh Presiden SBY.

Tiba-tiba di depan Presiden para penari dari Pulau Haruku itu mengibarkan bendera gerakan separatis RMS (Republik Maluku Selatan) berukuran raksasa. Peristiwa itu dianggap mempermalukan Presiden SBY di depan para tamu asing. Dalam kesempatan berpidato, SBY terkesan marah dan menegaskan tak ada toleransi untuk gerakan separatis di Indonesia.

Maka aparat keamanan di Maluku pun sibuk. Densus 88 dikerahkan menangkap para penari itu dan memeriksanya di kantor Densus 88 di kawasan Tantui, Ambon. Seperti kemudian dilaporkan koran dan LSM internasional tadi, di sana terjadi penyiksaan di luar peri kemanusiaan terhadap para aktivis RMS. Sejumlah 22 orang yang terlibat dalam kasus ini kemudian divonis 6 tahun sampai 15 tahun penjara oleh pengadilan.

Lantas 2 Agustus lalu, Densus 88 menangkap lagi 10 aktivis RMS di Ambon. Mereka dituduh akan melakukan aksi – termasuk pengibaran bendera RMS – pada 3 Agustus 2010. Pada hari itu, Presiden SBY datang ke Ambon guna menyemarakkan perayaan Sail Banda 2010. Amnesty International mengkhawatirkan dalam pemeriksaan Densus 88, para tahanan itu akan mengalami penyiksaan sebagaimana tahanan tari Cakalele 2007.

“Dia bukan jihadis radikal. Dia seorang Kristen dan kesalahannya adalah memiliki dua bendera RMS,’’ tulis The Sydney Morning Herald 13 September 2010, mengisahkan nasib malang Yonias Siahaya, 58 tahun, pekerja bangunan dan salah seorang tahanan yang mengalami penyiksaan di rumah tahanan Densus 88 di Tantui, Ambon.

Artinya, menurut koran Sydney itu seorang jihadis radikal boleh saja disiksa Densus. Yang tak boleh adalah seorang Kristen dan pengibar bendera RMS. Sebuah sikap wartawan yang sangat rasis.

kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88

Densus 88 : Koboi Ngamuk Kreasi Amerika - Australia

Arogansi tembak mati adalah ciri khas Densus 88, sebuah pasukan khusus bentukan Polri pasca Bom Bali I. Banyak alasan dan justifikasi yang mungkin akan disampaikan oleh institusi berwenang negeri ini atas arogansi gaya koboi AS dan Australia (sebagai donatur Densus 88), mulai dari alasan bela negara, kalau tidak menembak duluan maka akan ditembak, dan sejenisnya.

Masalahnya kemudian, setiap ada aksi maka pasti akan ada reaksi. Maka yang perlu diperhatikan apakah tindakan main tembak dan membunuh orang tanpa haq ini akan mengikis habis terorisme atau malah menyuburkannya?

Hal lain yang juga patut diperhitungkan adalah ‘balasan’ yang pasti telah dipersiapkan oleh para korban Densus 88. Apalagi untuk kalangan mujahid yang sangat memperhitungkan hilangnya nyawa seseorang, apalagi nyawa seorang Muslim. Karena bagi mereka, darah harus dibayar dengan darah dan nyawa harus dibayar dengan nyawa (Qishash). Jadi, sampai kapan pertumpahan darah ini akan terus berlangsung?

Densus = Detasemen Yesus?

MENCERMATI testimony ibu Kartini di Komnas HAM, Jum'at (1/10/2010) sungguh sangat miris, rasa keadilan seolah terkoyak oleh kebengisan pasukan khusus berlogo ‘burung hantu predator itu. Singkatnya, ibu Kartini adalah saksi mata yang langsung menyaksikan suaminya, ustadz Ghazali, yang sedang memimpin shalat magrib berjamaah di rumahnya tiba-tiba dihentikan oleh pasukan didikan Australia tersebut, lalu diinjak-injak tanpa ampun, padahal ustadz Ghazali tengah sakit batuk. Sedangkan dua orang makmumnya ditembak mati, dan seorang lagi berhasil melarikan diri.

Pada saat yang hampir bersamaan, di depan PN Jakarta Selatan (Rabu, 29/9/2010) sekelompok orang bersenjata api dan tajam bertikai jelang persidangan kasus cafe Blowfish. Mereka saling bantai: 3 tewas, 8 luka-luka parah. Bahkan Kapolres Jakarta Selatan dan ajudannya ikut tertembak walau tidak sampai tewas. Anehnya reaksi Kapolri dan Presiden adem ayem saja, tidak seperti reaksi yang muncul ketika merespon perampokan bersenjata di CIMB Medan beberapa hari sebelumnya. Ada beberapa perbedaan reaksi yang perlu dicermati:

Pertama, Untuk kasus CIMB, Pemerintah langsung menyebutnya sebagai aksi terorisme sehingga digelar operasi pemberantasan teroris yang langsung dipimpin oleh Komjen Gories Mere yang sebenarnya adalah Kepala Kalakhar BNN, sementara Kepala Densusnya sendiri tidak jelas komandonya.

Sedangkan untuk kasus Blowish, pemerintah tenang-tenang saja walau jatuh korban lebih banyak dan juga menggunakan senjata api. Pelakunya pun tidak dicap sebagai teroris, meskipun para pelakunya adalah para preman terlatih yang mem-backing tempat maksiat itu.

...Ratusan anggota Densus 88 begitu trengginas menangkap, menyiksa, dan menembak mati para terduga yang belum tentu bersalah, semua korbannya adalah muslim yang taat beribadah. Istri-istri mereka berjilbab, sebagian bercadar, baju mereka bergamis, celana cingkrang, jidat hitam, berjanggut, dan berteriak Allahu Akbar!
Kedua, Untuk kasus CIMB, Densus begitu trengginas menangkap, menyiksa, dan menembak mati para terduga yang belum tentu bersalah, bukan hanya puluhan tetapi ratusan orang sejak kasus ‘pelatihan militer di Aceh yang semua korbannya adalah muslim yang taat beribadah. Istri-istri mereka berjilbab, sebagian bercadar, baju mereka bergamis, celana congkrang, jidat hitam, berjanggut, dan berteriak Allahu Akbar!

...Sedangkan untuk kasus Blowish, Densus tidak berkutik menghadapi para preman bersenjata api dan tajam. Apa karena agama mereka sama dengan Gories Mere? Apa karena para istri mereka tidak berjilbab? Apa karena mereka tidak meneriakkan takbir?...

Sedangkan untuk kasus Blowish, Densus tidak berkutik menghadapi para preman bersenjata api dan tajam. Apa karena agama mereka sama dengan Gories Mere? Apa karena mereka tidak berjenggot dan bergamis? Apa karena para istri mereka tidak berjilbab? Apa karena mereka tidak meneriakkan takbir waktu membantai?

Ketahuilah, tindakan Densus 88 ini sungguh sangat berbahaya, karena diskriminasi sikap aparat yang zalim akan membangkitkan perlawanan rakyat semesta! Sejarah membuktikan, ketidakadilan aparat penguasa akan berujung kehancuran, apalagi memusuhi umat Islam dengan cover memerangi teroris, tinggal menunggu waktu saja

"Apakah kalian mengira akan dibiarkan (begitu saja), sedangkan Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang yang berjihad diantara kalian dan tidak mengambil teman setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kalian kerjakan." (TQS. At Taubah [9] : 16)

kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88

Mujahid Ambon dan Poso Sedikit Demi Sedikit Dihabisi oleh Densus 88

Diposting pada Jum'at, 15-05-2009 | 00:08:28 WIB

Detasemen Khusus 88 kembali membuat berita, hari Senin kemarin Densus 88 mengumumkan penangkapan dua orang tersangka teroris yang terlibat dalam Jihad Poso, Sulawesi Tengah dan Ambon Maluku yang terjadi pada medio 2000 dan 2006. Kedua orang tersebut ditangkap di Kalimantan Timur tanggal 9 Mei.

Saat ini keduanya masih ditahan di kantor polisi di propinsi Kalimantan Timur, dan sedang dilakukan interogasi. Polisi mengatakan keduanya akan ditransfer ke Jakarta.
Polisi mengklaim (baca: ngarang cerita) keduanya adalah anggota Jamaah Islamiyah, kelompok Jihad selain Jamaah Islamiyah juga dikatakan bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi di Poso dan Ambon. Padahal sebenarnya adalah ulah salibis yang kalap.

Sampai saat ini semua tersangka yang telah ditangkap Densus 88 adalah dari orang-orang Islam, tidak ada dari kelompok salibis yang ditangkapi padahal merekalah yang mengobarkan kerusuhan dan jelas-jelas terlibat dalam perang Ambon dan Poso. Keberpihakan ini sangat wajar karena memang dari awalnya, densus 88 diperuntukkan membantai muslinmin di Indonesia.

Kebrutalan densus 88, densus brutal, keganasan densus 88, detasemen yesus 88, keganasan densus 88, densus 88 melanggar HAM, kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88, densus dibiayai amerika, densus kaki tangan kafir, densus salibis

Densus 88 Dibiayai Amerika

Untuk melanggengkan penjajahannya di negeri-negeri muslim, amerika sudah mencanangkan untuk memerangi Ummat Islam dengan jargon War On Terrorism yang maksudnya adalah Perang Melawan Islam. George Bush sendiri mengistilahkannya dengan CRUSADE / Perang Salib. Dalam upaya meraih medali Global War Of Terrorism yang disediakan oleh Gembong Terrorist Terbesar yaitu Amerika Serikat, maka Anjing-anjing penjilat di negeri-negeri muslim ramai mengonggong dan ada juga yang mendukung secara fisik. Peraihan medali Global War Of Terrorism akan membuat tebal isi dompet dengan aliran Dollar. Demikian pula yang terjadi di Indonesia.

Meski sering dibantah oleh sumber resmi kepolisian, namun informasi bahwa Densus 88 didanai AS sangat sulit dibantah. Dana AS yang mengalir kepada Polri untuk mendirikan Densus 88 sangat besar, dan setiap tahunnya mengalami peningkatan.[1]

Dalam situs Wikipedia tentang Densus 88, dinyatakan dengan tegas bahwa :

“Pasukan khusus ini dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat melalui bagian Jasa Keamanan Diplomatik (Diplomatic Security Service) Departemen Negara AS dan dilatih langsung oleh instruktur dari CIA, FBI, dan U.S. Secret Service. Kebanyakan staf pengajarnya adalah bekas anggota pasukan khusus AS. Pusat pelatihannya terletak di Megamendung, 50 kilometer selatan kota Jakarta.” [2] (last updated, 10 Agustus 2009).

Sekitar dua tahun lalu, Munarman yang saat itu menjadi Tim Advokasi FUI (Forum Umat Islam) mengatakan, berdasarkan dokumen Human Rights Watch tentang Counter Terorism yang dilakukan AS, pembentukan Densus 88 di Indonesia pada tahun 2002 didanai AS sebesar 16 juta dollar, dan sebelumnya pada tahun 2001 Polri telah menerima dana untuk penanganan terorisme sebesar 10 juta dollar.[1]

Kapolri Dai Bachtiar sendiri saat itu (tahun 2002) pernah mengatakan, dana bantuan yang telah diberikan AS untuk memerangi terorisme kepada kepolisian sebesar US$ 10 juta. Bantuan selanjutnya akan diberikan kepada Polri sebesar US$ 12 juta. “Plafon maksimal yang diperoleh Polri sebanyak US$ 16 juta, tetapi kemungkinan Polri akan mendapat US$ 12 juta,” kata Kapolri. Anggaran itu, menurut Kapolri, diberikan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan bagi anggota Polri. “Bentuknya kita mengirimkan perwira ke sana (AS) atau mereka mengirimkan pelatihnya ke Indonesia,” kata Kapolri.[3]

Munarman menyatakan informasi Densus 88 dibiayai AS bukanlah asumsi.”Itu konkrit dari dokumen sekunder, saya juga punya dokumen primer, dan juga dokumen dari Departemen Pertahanan AS tentang counter terorism budget, “jelasnya kepada pers, di Gedung Menara DDII, Jakarta, Selasa (26/6/2007).[1]

Munarman menegaskan lebih jauh, dana untuk penanggulangan terorisme dunia yang dikeluarkan oleh pemerintah AS itu setiap tahunnya mengalami peningkatan.”Untuk tahun 2007 ini dananya sebesar 93 milyar dollar, dan untuk tahun 2008 sebesar 141 milyar dollar untuk seluruh dunia,” urai Munarman.

“Itu data resmi Departemen Pertahanan AS, saya dapat dokumennya asli, dana yang 10 juta dollar ini sebenarnya sudah pernah saya sampaikan ke DPR tahun 2002-2003, tapi mereka juga tidak dipercaya, “jelasnya. Ia menduga, DPR tidak mengetahui bahwa Densus 88 adalah unit kerja yang dibiayai asing dan belum pernah menerima laporan keuangan atas berbagai kegiatan Densus.[1]

Berita bahwa Densus 88 didanai AS bahkan juga dibuktikan dengan video di situs www.youtube.com dan sejenisnya. Dalam video yang dibuat tahun 2002 itu Kapolri Dai Bachtiar (saat itu) mengaku secara terbuka bahwa AS telah mendanai puluhan juta dolar AS untuk penanggulangan terorisme di Indonesia. [4]

Referensi :

[1] http://www.eramuslim.com/berita/nasional/fui-as-danai-densus-88.htm

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88

[3] http://www.tempointeraktif.com/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0JBTFNbeV0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=MjUwOTg=

[4] http://s3nn4.multiply.com/video/item/140/Sumber_Dana_Densus_88_Anti_terro


Kebrutalan densus 88, densus brutal, keganasan densus 88, detasemen yesus 88, keganasan densus 88, densus 88 melanggar HAM, kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88, densus dibiayai amerika, densus kaki tangan kafir, densus salibis 

COPET !

Barang-barang yang diambil oleh Densus 88 di rumah Abu Tholut ternyata tak hanya duit senilai Rp 5 juta. Keluarga Abu Tholut mengaku juga kehilangan tas hitam berisi dokumen dan uang senilai Rp 8 juta.

“Istrinya bilang sesaat setelah Densus pergi, semua tempat yang biasa untuk taruh uang dah dicek (termasuk atas lemari), tetapi tas hitam tersebut tak ada di sana. Istrinya baru mengetahui isinya (yang hilang bersama tas) setelah ada pembicaraan dengan abang saya via telpon,” kata adik Abu Tholut, Asma Kusniati saat dihubungi detikcom, Rabu (22/12/2010).

Menurut Kusniati, informasi hilangnya tas berisi uang itu diketahui setelah Abu Tholut menelepon dari tahanan. Abu Tholut menanyakan soal tas hitam yang ditaruh di atas lemari buku.

“Yang berisi 1 BPKB motor Supra XR warna merah, nopol K 2871 T dan uang Rp 8 juta rupiah dari usaha bagi hasil barang-barang elektronik, jual beli mobil dan jual pakaian,” jelasnya.
Kusniati menambahkan, hilangnya tas hitam tersebut tak pernah diklarifikasi oleh Polri. Tidak ada kepastian apakah tas dan isinya menjadi barang sitaan terkait kasus yang menimpa Abu Tholut.

“Kita enggak tahu itu BB atau bukan enggak ada penjelasan,” tukasnya.

Sebelumnya, Kusniati juga mengaku Densus 88 telah mengambil duit senilai Rp 5 juta dan HP milik istri Abu Tholut. Akhirnya duit itu dikembalikan oleh Densus 88, sementara HP disita karena diduga terkait kasus terorisme. [detiknews.com]

kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88, densus 88 dibiayai kafir

TERNYATA PENGECUT

Oleh: Bekti Sejati (Aktivis Islam, tinggal di Klaten-Jawa Tengah)

Melihat berita penangkapan Joko Daryono atau Thoyyib selaku Aminul Mal (bendahara) JAT pusat di media-media online dan mendengar langsung penuturan dari keluarga yang bersangkutan serta saksi-saksi yang melihat secara langsung kejadian penangkapan tersebut dan penggrebegan rumahnya, mungkin kita bisa mengambil kesimpulan bahwa nyali para anggota Densus AT 88 Mabes Polri bisa kita ibaratkan hanya sekecil “semut”, tapi gayanya segede “gajah”. Kenapa demikian???


Bagaimana tidak, menangkap 1 orang saja yang tidak membawa senjata apa-apa membutuhkan personal yang berjumlah puluhan dengan senjata lengkap serta dilakukan dengan tidak berprikemanusian. Kalau memang para penegak hukum itu (khususnya) polisi dan terkhusus Densus 88, konsekuen dengan apa yang selalu didengung-dengungkan, bahwa dalam proses penangkapan seseorang itu tidak bisa gegabah dan harus didasari dengan bukti-bukti yang kuat serta surat penangkapan. Akan tetapi, kenapa hal tersebut tidak berlaku kepada para aktivis islam??? Padahal bukti untuk menangkap para aktivis islam seperti Ust Abu Bakar Ba’asyir, Ust Aman Abdurrahman, dan yang terakhir Joko Daryonno, dll belum ada dan bahkan tidak ada sama sekali. Dan yang aneh lagi, surat penangkapannya pun biasanya baru dibuat beberapa hari dan mungkin tidak dibuatkan sama sekali setelah yang bersangkutan “diculik”. Maka, jika Densus 88 tidak di ibaratkan dengan binatang (semut itu binatang kan?!?), lalu di ibaratkan dengan apa lagi!?!

Kemudian, sesaat setelah penangkapan, anggota Densus 88 mendatangi rumah Joko Daryono didaerah Gentan Sukoharjo. Apa yang mau dicari Densus 88? Sedangkan orangnya sudah ditangkap. Bahkan dengan gaya koboinya, dia menakut-nakuti semua orang yang ada disekitar rumah tersebut. Akan tetapi, waktu hendak keluar dari rumah tersebut dengan membawa sebuah brangkas besi, kemudian dicegah Nyonya Eli (istri Joko Daryono) sambil berkata,
“sudah pak, daripada kecewa, brankas itu tidak ada apa-apanya, itu punya Farouk anak saya". Mendengar itu anggota Densus 88 tersebut menjawab "mana Farouk", bocah kecil itu diminta untuk membuka brankas tersebut yang menggunakan kunci berupa kode nomor. Anak kecil yang ketakutan tersebut kemudian maju dan membuka brankas besi itu, dan benar saja didalamnya hanya ada mainan anak-anak.

Akan tetapi, yang kelihatannya belum diketahui oleh orang-orang (khusus para aktivis islam) bahwa sesungguhnya anggota Densus 88 pun pada waktu itu (dan mungkin kasus-kasus penggrebegan lainnya), ternyata pada kondisi yang ketakutan pula (berbagai sumber). Masih ingat, bagaimana Ibu Kartini, istri Ust Ghozali yang ditangkap Densus 88 di Sumatra Utara bertutur, bahwa waktu Densus 88 hendak membawa sebuah tas didalam rumahnya Ust Ghozali yang dikira bom?? Waktu itu Bu Kartini berkata “bahwa tas itu tidak ada bomnya, kalau tidak percaya, buka dan lihat ja sendiri”. Tapi karena tadi, bahwa Densus 88 itu nyalinya sekecil “semut”, suruh BUKA TAS SAJA TIDAK BERANI.

Coba bayangkan, menghadapi anak kecil dan membuka tas saja mereka takut, apalagi kalau umat islam ini bersatu padu menghadapi mereka (Densus 88)??? Sungguh kekuatan yang luar biasa akan terbentuk untuk melawan musuh islam di Indonesia yaitu DENSUS 88. Maka dari itu, disini perlu di informasikan dan disampaikan kepada masyarakat bahwa umat islam itu harus mengetahui kondisi yang seperti ini, bahwa sekarang itu, kita sedang dalam bidikan dan terkaman orang –orang kafir (khususnya Amerika) melalui kaki tangannya di Indonesia yang salah satunya yaitu Densus 88. Kalau kita tidak segera bangkit untuk bersatu dan berbalik untuk menyerang mereka (karena selama ini kita yang selalu diserang terlebih dahulu), maka lama kelamaan generasi umat islam kita akan lenyap dihabisi oleh mereka, baik dengan cara yang halus (mendangkalkan aqidah mereka, memurtadkan mereka, dll) atau dengan cara koboi mereka dengan ditembak satu persatu atau dipenjarakan. Wallahu a’lam...

kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88, densus 88 dibiayai kafir, Densus 88 pengecut dan penakut

Kelakuan Salibis Dibalik Densus 88

Disinyalir Gories Mere berada di belakang sejumlah operasi brutal dan penyiksaaan terhadap para tersangka terorisme

Sore itu matahari sudah berada di ufuk barat. Jarum jam menunjukkan pukul 15.20 WIB. Tiba-tiba datang rombongan sekitar 20 orang dengan berjalan kaki hendak masuk area Airside Bandara Polonia Medan. Rombongan itu tidak dikenal oleh penjaga di Pos GB (Golf Bravo) bandara itu. Salah seorang petugas kemudian menanyakan keperluan rombongan itu, lalu salah satu dari mereka menjawab, “mau naik pesawat”.

Petugas bandara yang bernama Praka Didik Suprihatin itu lantas mengarahkan rombongan tersebut. “Bila ingin naik pesawat, harus melalui terminal keberangkatan atau VIP Room Bandara Polonia Medan". Diarahkan baik-baik seperti itu rombongan malah tidak mengindahkan sama sekali. Mereka tetap ingin masuk melalui Pos Golf Bravo untuk naik pesawat.

“Mereka tetap bersikeras dengan alasan misi operasi negara”, ungkap Didik dalam laporan Kronologi Kejadian di Pos Golf Bravo Bandara Polonia Medan yang ia tulis.

Rombongan itu tetap ngeyel dan Didik pun mengaku tetap melarang mereka untuk masuk melalui Pos Golf Bravo. Tiba-tiba salah satu anggota rombongan membentak, "Kamu tau yang di depanmu itu Jendera bintang tiga?".

Sadar yang dikatakan adalah perwira tinggi yang pangkatnya jauh di atasnya, ibarat bumi dan langit, ia pun dengan sigap menjawab, "Siap mohon ijin, karena kami tidak ada tembusan atau pemberitahuan sebelumnya. Saya hanya menjalankan prosedur sebagai petugas jaga di Pos Golf Bravo".

Mereka tetap berjalan masuk melewati Pos Golf Bravo. Lalu salah satu dari mereka mengatakan "Kamu jangan menghalangi misi operasi negara". Atas perlakuan ini kemudian security Angkasa Pura, Joko Santoso, melaporkan kejadian tersebut kepada Danton Security, Jumadi.

Demikianlah kronologi yang dibuat oleh Didik Suprihatin, seorang anggota TNI AU yang pada hari Senin, 13 September 2010 bertugas di Pos Golf Bravo Bandara Polonia Medan. Laporan itu ditujukan kepada Dan Lanud Medan, kemudian ditembuskan kepada GM PT AP II Bandara Polonia Medan dan Dansatpom Lanud Medan.

Lantas, siapakah jenderal bintang tiga yang dimaksud dan untuk apa ia terlibat dalam operasi Densus 88 di Medan?. Bukankah kepala Densus 88 hanya berpangkat Brigjen?. Tak lama setelah berita atas kejadian itu muncul di sejumlah media, muncullah nama Komjen (Pol) Gregorius Mere atau yang sering dikenal sebagai Gories Mere sebagai perwira tinggi Polri yang dimaksud.

Tapi untuk apa lelaki kelahiran NTT itu terlibat dalam operasi Densus 88?. Seperti diketahui lulusan Akpol 1976 itu saat ini tengah menjabat Ketua Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (Kalakhar BNN), yang tidak ada hubungannya dengan operasi antiteror.

Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar mengkritik arogansi Gories Mere. Menurutnya keikutsertaan Gories Mere dalam operasi Densus 88 akan menambah kekarut-marutan organisasi Polri. "Dia Kepala BNN kok bisa ikut-ikut ke sana. Seandainya jadi konsultan ya, kalau ikut ngatur ya salah besar. Ini perlu diteliti Kapolri," tukasnya.

Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane, Gories telah melakukan penyalahgunaan wewenang karena melampaui kewenangannya sebagai Kalakhar BNN. “Dia harus mempertanggungjawabkan segala sesuatunya. Bikin malu saja!” kecamnya.

Meski dikecam banyak pihak, rupanya Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri (BHD) tetap membela bawahannya itu. “Nggak ada masalah. Kenapa?.”, katanya. Ia malah membela jika Gories ada kegiatan di Medan.

Tentu penjelasan Kapolri itu sangat janggal. Jika hanya kegiatan BNN, mengapa naik pesawatnya perlu menerobos Pos Golv Bravo?. Mengapa tidak melalui terminal keberangkatan?. Mengapa juga harus bersama puluhan anggota Densus 88?. Sayang, Kapolri buru-buru mengakhiri wawancara sambil menurunkan alat perekam wartawan.

Sadisnya Gories Mere

Patut diduga Gories-lah yang secara langsung mengendalikan operasi Densus 88. Bahkan jenderal Kristen ini pula yang turut dalam penangkapan beberapa tersangka terorisme. Penangkapan terhadap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir adalah fakta terkini yang diduga melibatkan Gories.

Ketua Tim Advokasi FUI, Munarman, mengungkapkan peran Gories dalam operasi anti teror. Menurutnya, selain sebagai Kepala BNN, Gories juga menjadi Komandan Satgas Anti Bom. Ia bertanggungjawab langsung kepada Kapolri. Satgas Anti Bom inilah yang paling berperan dalam menyiksa dan membunuhi para tersangka aktivis Islam yang dituduh sebagai teroris.

“Densus 88 dan Satgas Anti Bom berperan seperti Kopkamtib pada masa Orde Baru dengan melakukan tindakan represif terhadap para aktivis Islam yang berseberangan dengan pemerintah”, ungkap Munarman.

Ustadz Abu Jibril, ayah terdakwa kasus terorisme M. Jibril menceritakan peran Gories dalam penyiksaan anaknya. Diceritakan bahwa penyiksaan terhadap anaknya itu dilakukan di hadapan Gories Mere.

“Wajah anak saya sampai hancur dipukuli para interogatornya selama seminggu dan disaksikan langsung Gories Mere. Bahkan anak saya juga ditelanjangi dan dipaksa melakukan sodomi. Padahal sebelumnya tiga jenderal polisi dari Mabes Polri yakni Komjen (Pol) Saleh Saaf, Komjen (Pol) Susno Duadji dan Brigjen (Pol) Saud Usman Nasution telah menjamin anak saya tidak akan diapa-apakan. Namun ternyata ketiga jenderal polisi itu tidak mampu mencegah kekejian Gories Mere dan anak buahnya yang Kristen Katolik itu,” ungkap Abu Jibril dengan menitikkan air mata.

Gories Berlumuran Darah

Bukan kali ini saja Gories membuat masalah. Ia tercatat berkali-kali membuat masalah dengan umat Islam dan bahkan dengan istitusinya sendiri. Menurut catatan wartawan senior, Mega Simamarta, dalam situs dan blognya www.katakami.com dan katakamidotcom.wordpress.com, selama perjalanan kariernya banyak sekali kasus yang melibatkan mantan Direktur Narkoba Bareskrim itu.

Pada tahun 2004, Gories yang saat itu masih menjabat Direktur Narkoba Mabes Polri kepergok wartawan sedang dugem dengan terpidana kasus Bom Bali, Ali Imron. Bersama delapan orang lain, Gories Mere sedang kongkow di Starbucks Coffe, lantai 2 Plaza X, Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat. Ia pun dikecam di sana-sini.

Pada tahun 2005, nama Gories dikaitkan dengan pembunuhan sadis bandar narkoba Hans Philip yang ditembak mati di bagian kepala saat berada di dalam mobilnya di kawasan Bogor Jawa Barat. Tahun 2006, nama Gories patut dapat diduga dikaitkan dengan kasus pencurian barang bukti narkoba sabu seberat 13,5 kg (jika dijual akan mendapatkan keuntungan Rp. 13,5 Miliar).

Ketika kasus pencurian ini terjadi, Kapolri yang saat itu menjabat yaitu Jenderal (Pol) Sutanto marah besar atas hilangnya barang bukti ini dan memerintahkan agar “siapapun yang lancang dan liar mencuri barang bukti sabu itu” harus mengembalikannya segera ke gudang penyimpanan. Setelah mengetahui betapa marahnya Kapolripada saat itu, delapan bulan kemudian barang bukti 13,5 kg sabu ini bisa tiba-tiba kembali ke tempatnya semula di gudang penyimpanan.

Tahun 2008-2009, nama Gories Mere dikaitkan dengan pembekingan kasus rekayasa bandar narkoba Liem Piek Kiong alias MONAS yang ditangkap oleh Mabes Polri di Apartemen Taman Anggrek bulan November 2007 dengan barang bukti 1 juta pil ekstasi (jika dijual akan mendapatkan keuntungan Rp. 1 triliun).

Tahun 2009, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) yang saat itu masih dijabat oleh Abdul Hakim Ritonga mengatakan bahwa pihaknya dihubungi oleh Pihak BNN yang berjanji akan ‘menangkap kembali’ Bandar Narkoba Liem Piek Kiong alias MONAS untuk bisa diajukan ke Pengadilan sesuai dengan kasus hukumnya yaitu kasus Taman Anggrek. Tetapi sampai detik ini, Monas bebas merdeka tanpa perlu diadili oleh kasus Taman Anggrek.

Tahun 2010, sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Denny Indrayana, secara tegas mengkritik sekeras-kerasnya indikasi yang dilakukan Gories dalam menghalang-halangi kasus rekayasa narkoba yang menimpa diri Aan diselesaikan secara baik dan benar.

Di mata umat Islam, nama Gories Mere penuh kenangan pahit. Penembakan dan serangan brutal ke Pondok Pesantren Al Amanah, Tebang Rejo, Poso, Sulawesi Tengah yang dipimpin oleh Ustadz Adnan Arsal tepat pada malam takbiran tahun 2006, adalah perintah dari Gories sebagai Komandan Tim Anti Teror. Alasanya, untuk mencari buronan-buronan terorisme yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Tapi ternyata yang dicari tidak ada. Karena tindakannya itu, Gories tidak berani menghadap kepala BIN Sjamsir Siregar yang mendatangi Poso di hari lebaran pertama.

Meski berada di Washington DC, Gories juga memerintahkan penembakan brutal di Tanah Runtuh, Poso, pada tanggal 22 Januari 2007. Alasannya sama, mencari buronan terorisme yang masuk dalam DPO. Penembakan brutal yang membabi buta dari Tim Anti Teror Polri ini menewaskan 13 orang umat Islam di Tanah Runtuh, Poso yang tidak bersalah. Dari korban tewas sebanyak 13 orang itu, tidak ada satupun yang masuk dalam DPO terorisme versi Polri. Nyawa umat Islam poso kembali melayang sia-sia akibat kebrutalan Gories.

Gories juga pernah memfitnah dan mengejek Jenderal (Purn) Riyamizard Riyacudu. Tapi ia sangat ketakutan setelah dimarahi dan ditelpon langsung oleh mantan KSAD itu. Dalam institusinya sendiri, Gories juga pernah mengejek Polda Jawa Barat sebagai polisi-polisi yang goblok dan sangat tolol sehingga tidak bisa menangkap buronan teroris Hambali. Di dalam kaset rekaman itu anak buah Gories, Brigjen (Pol) Surya Darma, dengan pongahnya mengancam dengan kalimat:

“Lihat saja ya, kalau saya dan Pak Gories Mere mogok, lihat saja, akan kami doakan agar di Indonesia ini terjadi banyak peledakan bom karena di negara ini hanya kami berdua saja yang mampu menangani masalah terorisme. Yang lain tidak bisa !”.

Memang kasus terorisme penuh rekayasa, pantas saja hanya mereka berdua yang bisa menangani. Jangan-jangan, maling teriak maling!. (abu fathullah fawwaz ramadhan)

SMS Gorries Mere

Puluhan SMS Gorries Mere yang dibocorkan oleh Mega Simarmata membuka mata publik. Ternyata sepak terjang Densus 88 dan godfather-nya sangat berwarna. Jauh sebelum Julian Assange menghebohkan dunia dengan Wikileaks-nya, Mega Simarmata telah mengguncang dengan Densusleaks.

Jika situs-situs “leaks” membocorkan dokumen dan komunikasi negara, beda lagi dengan situs katakami.com. Situs berita yang yang dipimpin oleh seorang jurnalis bernama Mega Simarmata ini kerap memuat berita yang mengungkap sepak terjang “godfather” antiteror di Indonesia, Gorries Mere. Karena Gorries sangat berpengaruh dalam operasi Densus 88 Antiteror dan Satgas Bom Mabes Polri, tak berlebihan jika situs katakami berubah nama menjadi “Densusleaks.”

Mega menulis banyak hal tentang Gorries. Dari dugaan korupsi alat komunikasi buatan Israel hingga dugaan kongkalikong Gorries dengan bandar narkoba bernama Monas. Konon ia berkali-kali diteror, ponselnya disadap hingga tak dapat digunakan. Situs katakami.com pun kerap di-hack sehingga harus di-back up dengan sebuah blog.

Secara khusus Mega menuding pelakunya adalah Kombes Petrus Reinhard Golose, bekas Kadivtelematika Mabes Polri. Tangan kanan Gorries itu kini menjadi direktur di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Terkait kehidupan pribadi Gorries, Mega menulis kedekatan sang komjen dengan seorang polwan bernama Vivik Tjangkung meski telah beristri. Beberapa artikel yang ditulis Mega menyoroti hal itu cukup tajam.

Tommy Winata

Terakhir, pada 9 Mei 2009, Mega membocorkan puluhan SMS Gorries, dari nomor HP 0811995999 dan 0816.999999. Nomor kedua ini disebut Mega sebagai nomor ini atas nama Tommy Winata, taipan keturunan Cina yang sempat ribut dengan Majalah Tempo karena dituduh berada di belakang terbakarnya Pasar Tanah Abang. Tommy juga yang akan menangani proyek pembangunan jembatan Selat Sunda. Menurut Mega, nomor itu telah digunakan sejak bertahun-tahun lalu oleh Gorries Mere.

Dalam SMS-SMS yang dikirim, Gorries memakai inisial GM. Sementara Mega Simarmata disebutnya MS. GM seolah selalu melaporkan keberadaannya, mungkin juga sebagai balasan atas SMS MS. Misalnya ketika GM berada di Washington DC tanggal 17 Januari 2007. Saat itu GM mendampingi Kapolri Sutanto meminta akses untuk bisa memeriksa Hambali yang tengah ditahan di Kamp Guantanamo. Sebuah permintaan yang ditolak oleh Amerika.

Keesokan harinya, GM menceritakan komunikasinya dengan Brigjen Badrodin Haiti, Kapolda Sulteng. Saat itu situasi di Poso tengah memanas karena polisi memaksa para DPO teroris yang bermukim di kompleks Pesantren Tanah Runtuh menyerah. Namun mereka baru mau menyerah jika 16 nama aktor intelektual Kristen yang disebut namanya oleh Tibo cs. juga ditangkap. Perundingan pun buntu.

Saat itu Gorries Mere sedang berada di Amerika Serikat. Namun, menurut Mega, atas perintah Gorries Mere maka dilakukan penyerangan yang kedua kalinya di Poso tanggal 22 Januari 2007 yang mengakibatkan belasan orang sipil tak bersenjata tewas akibat tembakan POLRI. Saat itu, KOMNAS HAM turun ke lokasi bentrok tersebut dan menyimpulkan bahwa POLRI telah melakukan pelanggaram HAM.

Pada hari bakutembak berkecamuk di Poso, GM tak lupa mengabarkan situasi di sana pada MS. GM bercerita berbagai senjata digunakan oleh kelompok DPO. Akibatnya tiga polisi terluka.

Penyadap Israel

MS juga bercerita, sambil membocorkan SMS GM tentunya, bagaimana GM begitu sebal pada mantan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu. Mega menulis bahwa sejumlah SMS dari Gories Mere bernada mengejek Jenderal Ryamizard Ryacudu. Semua SMS “sangat lancang” serta “tidak santun” dari GM yang mengejek Ryamizard kemudian di-forward ke nomor ponsel sang jenderal.

Menurut wartawati ini, Gories Mere memiliki kecenderungan untuk mengejek dan merendahkan TNI, tetapi juga mengejek dan merendahkan institusinya sendiri, Polri. Menurut Mega, Gories Mere adalah perwira tinggi Polri yang sangat tidak kredibel dan menyebarkan benih perpecahan disana-sini.

GM bukan tak sadar bahwa ia tak disukai banyak orang. Namun ia mengklaim bahwa hal itu karena dua sebab. Pertama karena ia Kristen, kedua karena ia tak seperti pejabat lain di Indonesia yang suka korupsi. Ia lebih suka berpikir dan berbuat untuk bangsa dan negara. Ini tercantum dalam SMS GM tanggal 14 Mei 2007.

Namun, empat hari sebelumnya, GM mengirimkan SMS dari Madrid, Spanyol. Menurut Mega, GM mengaku tengah menggelar pertemuan rahasia dengan pengusaha yang menyediakan alat penyadap dari Israel. Pengusaha itu konon mengeluh banyaknya upeti yang setoran yang harus dikeluarkan jika hendak melakukan investasi ke Indonesia.

Mega sangsi dengan cerita GM itu, menurutnya itu hanya keterangan sepihak. “Pertanyaannya adalah mengapa ia mengadakan pertemuan gelap atau rahasia di luar negeri dengan pengusaha alat penyadap ? Patut dapat diduga, GORIES MERE terlibat dalam kasus korupsi pembelian alat penyadap buatan Israel yang digunakan Tim Anti Teror POLRI.”

Bocoran dari Mega ini mengingatkan publik pada kasus korupsi alat komunikasi (alkom) di Polri. Saat itu ada beberapa perwira tinggi yang dituding merugikan miliaran rupiah uang negara. Namun yang dikorbankan hanya Henry Siahaan, rekanan Polri dalam proyek itu. Henry pun masuk bui dan kemudian bercerai dengan isterinya, Yuni Shara.

Abu Dujana

“Laporan” GM pada MS terus berlanjut. Pada 9 Juni 2007, Pada Pukul 14.15.47, GM mengaku tengah berada di hutan Pantai Selatan Wilayah Gombong. Saat itu ia tengah memantau penangkapan atas Abu Dujana. Tersangka teroris yang dianggap dekat dengan Noordin M Top.

Penangkapan ini sempat memicu heboh. Pasalnya Menlu Australia Alexander Downer merilis kabar itu tanggal 11 Juni, dua hari sebelum Mabes Polri mengakuinya. Beberapa jam sebelum jumpa pers Polri, dinihari tanggal 13 Juni 2007, GM meng-SMS Mega bahwa ABD (inisial Abu Dujana) telah tertangkap. “We got him. Thank you so much Non, for everything that has been happened & already done.” GM menyapa MS dengan sebutan akrab, Non, dalam berbagai SMS-nya.

Empat hari kemudian, tepat hari Minggu, GM kembali menyapa MS. “Belum Misa, Non? Sangat confidential, Only For Non. Ada yang sedang diambil dan sedang dikorek-korek karena masih kunci mulut. Pakai doanya Non lagi, dong …

Tiga hari berikutnya, 20 Juni 2007, GM kembali melaporkan perkembangan kasus Abu Dujana. Saat itu bola panas bergulir karena anak Abu Dujana yang berumur 8 tahun bersaksi di depan DPR bahwa ayahnya ditembak meski sudah menyerah. Polri pun menjadi bulan-bulanan kecaman publik.

Realita yg diungkapkan oleh GM dalam SMS-nya lebih parah. Sebenarnya Abu Dujana mau ditembak mati!

“Sebenarnya Petugas kami akan melumpuhkan dgn menembak KEPALA ABD. Tapi Ybs berkelit. Menundukkan kepala & pahanya NUNGGING ke ATAS sampai tertembus peluru. Hehehe. Untung dia !”

“Membeli” Opini Gus Dur

Dalam situasi terpojok itu, dikecam publik lantaran kejanggalan dalam kasus Abu Dujana, pada tanggal 22 Juni GM mengirimkan bahan-bahan berita versinya kepada MS. Kepada Kombes Benny Mamoto, salah satu perwira andalannya di Densus 88, GM menmerintahkan bahan itu dikirim via faks. “Tolong Ben, sekarang juga bahan tadi dikirim melalui fax.”

Untuk memperkuat permintaan dukungan itu, GM pada tanggal 25 Juni mencoba menyuap MS dengan uang sebesar 10 juta rupiah. Mega mengaku ia sama sekali tak mau menerima uang tersebut. Kemudian ajudan GM bernama Santos juga berupaya menyerahkan uang tersebut pada MS.

Entah apa yang kemudian terjadi. Namun pada tanggal 29 Juni, GM mengucapkan terima kasih atas bantuan MS. Untuk memberi “keseimbangan pemberitaan,” Mega Simarmata meminta pendapat, pandangan dan tulisan kolom dari Mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie Massardi dan sebagainya. “Opini penyeimbang” itu dimuat di halaman khusus yang dibayar berdasarkan tarif iklan advetorial berbagai surat kabar sehingga menghabiskan dana hampir Rp. 20 Juta.

Puluhan SMS Gorries Mere yang dibocorkan oleh Mega Simarmata membuka mata publik. Ternyata sepak terjang Densus 88 dan godfather-nya sangat berwarna. Jauh sebelum Julian Assange menghebohkan dunia dengan Wikileaks-nya, Mega Simarmata telah mengguncang dengan Densusleaks.

Mega berjanji akan terus membocorkan SMS Gorries dalam kurun waktu 2006-2009. Sejauh ini baru sekitar 27 SMS yang dibocorkan dalam berangka tahun 2007. Padahal Mega mengaku ada ribuan SMS! Ia berjanji akan terus membocorkan SMS-SMS itu jika diintimidasi oleh Gorries. Benarkah? Kita tunggu saja.

kebiadaban densus 88, densus biadab, penyiksaan ala densus 88, pelanggaran ham densus 88, densus 88 dibiayai kafir