Kasihan Densus 88

Oleh: Abu Hadid

Densus 88 (baca: Densus laknatullah ‘alaihim), ya itulah nama yang tidak asing lagi bagi kita, terkhusus lagi aktivis pergerakkan Islam di Indonesia, sebuah unit khusus anti teror (baca: anti Jihad = anti Islam) yang sengaja dibentuk untuk menghadapi kedidayaan para ‘teroris’ (baca : mujahid hari ini). Konon densus 88 Laknatullah ‘alaihim ini ketenaran dan kemampuannya melebihi dari unit anti teror yang dimiliki TNI AD, sungguh luar biasa bukan ? Tidak hanya itu saja, pretasinya pun hari demi hari sejak dibentuknya dulu, semakin mengagumkan saja, maka wajar jika saat ini densus 88 laknatullah ‘alaihim menjadi andalan garda terdepan dari pemberantasan terorisme saat ini.

Dengan gambaran yang sangat mengagumkan di atas, rasanya tidak ada dari pemuda kita saat ini yang tidak tertarik menjadi bagian dari densus 88 laknatullah ‘alaihim, bagaimana tidak tertarik ? dari sisi penampilan saja cukup menyakinkan dengan rangsel dipundak, senjata ditangan menambah gagah saja penampilannya, terlebih lagi adegan demi adegan yang diperankan sungguh membuat sebagian orang terkagum-kagum saja, tapi juga sekaligus geli menyaksikannya, bagiamana tidak geli ? hanya untuk membunuh satu mujahiddin saja mengerahkan seluruh kekuatan, bahkan sampai ratusan personal dengan senjata lengkap, sebuah operasi penyergapan mujahiddin yang membuat binggung kita sebagai masyarakat, apakah densus 88 laknatullah ‘alaihim setangguh yang selama ini kita dengar…? Ya, mungkin saja semua itu tak lain karena densus 88 laknatullah ‘alaihim kan juga manusia, mungkin juga takut mati, tapi kenapa justru para mujahiddin malah mencari kematian? Itulah salah satu yang membedakan antara densus 88 laknatullah ‘alaihim dengan para mujahiddin.

Pembaca sekalian, ketertarikan akan kehebatan densus 88 laknatullah ‘alaihim ternyata juga saya rasakan pula, khususnya lagi saat saya kecil dulu, walaupun saat itu belum ada yang namanya densus 88 laknatullah ‘alaihim, tapi masih menggunakan istilah polisi. Banyak anak-anak begitu kagum ingin bergabung dalam barisan polisi saat itu. Ya… itu dulu, dulu lain dengan saat ini, sering dengan perjalanan waktu, ketertarikan yang tertanam sejak kecil lambat namun pasti kini mulai luntur… tidak hanya sebatas luntur semata, saya justru kasihan dengan peran polisi saat ini, khususnya densus 88 laknatullah ‘alaihim, rasa kasihan ini tidak muncul begitu saja, tapi ada hal yang melatarbelakanginya, yakni ketika Polisi dengan densus 88 laknatullah ‘alaihim menjadi musuhnya para mujahidin hari ini, terlebih lagi polisi yang mengaku beragama Islam. Lalu kenapa saya harus kasihan ?

Ketika seorang menjadi polisi atau unit khususnya yakni Densus 88 laknatullah ‘alaihim, anda harus tahu bahwa anda juga manusia biasa yang yang tidak hidup selamanya,
sehingga permusuhan yang ditanamkan pada para mujahiddin sesunggungya telah menyerumuskan hidupnya kepada kesengsaraan di dunia dan akhirat, terlebih lagi para mujahidin orang-orang yang secara amaliyah Islam baik, sholeh dan taat memegang Islam, bahkan tidak hanya itu saja, banyak dari mereka umumnya dipandang masyarakat sangat baik, tidak sebagaimana polisi hari ini, yang citranya semakin hari semakin buruk saja dimata masyarakat. Dan sebentar lagi polisi dengan jargon mengayomi dan melayani masyarakat akan hilang, kemudian berubah menjadi alat kekuasaan. Sebab mengayomi dan melindungi masyarakat lambat namun pasti telah diambil alih para mujahiddin hari ini. Kasihan jika hidupnya tidak manfaat dan menjadi musuh mujahiddin hari ini.
 
Pembela kebatilan, hal ini sangat nyata sekali setelah banyak dari para mujahidin yang mendapatkan syahidan setelah terbunuh ditangan para densus 88 laknatullah ‘alaihim. Sebagai orang yang punya logika sehat tentunya hal ini seharusnya bisa menjadi peringatan bagi para polisi dan densus 88-nya laknatullah ‘alaihim, bahwa sesungguhnya mereka berada pada jalan kebatilan. Kasihan jika hati nurani yang sehat dan bersih ditutupi dengan kepentingan dunia sesaat.

Bayangkan jika suatu saat nanti densus 88 laknatullah ‘alaihim mampu dikalahkan oleh mujahiddin (dan kekalahan ini sangat pasti), maka kondisi akan berbalik (pahlawan biasanya menang belakangnya), sebagaimana ketika NKRI awal berdiri saat itu. Para pejuang Indonesia (para pahlawan) di bunuh, dipenjara dan diasingkan oleh penjahat penjajah Belanda dan akhirnya menang. Tapi kini perlakuan itu sama dengan perlakuan yang di berikan pada mujahiddin hari ini, jika demkian siapa kira-kira yang pahlawan dan siapa yang penjahat ?

Sebagai akhir dari tulisan ini JANGAN SALAHKAN MUJAHIDDIN, sebab apa yang terjadi hari ini sesungguhnya ketidaktegasan pemerintah dalam memelihara kepentingan bangsanya sendiri, yang tidak mampu berkata TIDAK dengan Amerika Serikat (sebagai pencetus perang terhadap terorisme global), sehingga para ‘teroris’ (baca : mujahiddin) hari ini terus saja diperalat unuk membesarkan pundi-pundi aparat.

Andaikan pemerintah tidak menyambut tawaran Amerika untuk menerima ajakannya, niscaya anak bangga ini tidak akan menjadi korban “yang mengatasnamakan perang Terorrisme Global”. Jika hal ini sudah terjadi, maka tidak ada yang akan mampu menghentikannya. Dan mudah pasti peperangan akan dimenangkan para mujahiddin hari ini sebab mereka punya spririt dan tujuan perang yang jelas…. sedangkan polisi dan densus 88 laknatullah ‘alaihim perang untuk mencari kehidupan…… kasihan…. kasihan…. kasihan…, hidup sesaat untuk membela kebatilan…… ah densus… densus… laknatullah ‘alaikum ‘ajma’in !!!