Contoh Kebiadaban Densus 88 di Tanjung Balai

Kartini Panggabean, istri Khairul Ghazali, tersangka teroris yang ditangkap Densus di Tanjung Balai, Sumatera Utara, Minggu (19/9/2010), menceritakan, pasukan Densus 88 Antiterir Polri yang mengepung rumahnya terus menembaki rumahnya hingga seisi rumahnya hancur berantakan.

Mereka menembaki rumah kami dengan membabi buta, walaupun saya sangat yakin Bang Jali (Khairul) tidak ada senjata. Bang Jali hanya terus bertakbir, Allahu Akbar, hanya itu yang bisa Bang Jali lakukan.

Mereka (Densus) terus menembak walau tidak ada perlawanan dari dalam rumah. Dari luar mereka menembak, di dalam juga menembak, mereka dalam waktu satu jam itu menembak terus dengan membabi buta.

Tiba-tiba ada yang menggiring saya keluar, saya dibawa ke mobil Densus 88. Saya terus menengok (melihat) ke arah Bang Jali, tapi sudah tidak terlihat. Saya tengok (lihat) suami kawan saya (Abu) dibawa ke mobil tak berapa lama kemudian.

Densus membentak saya menanyakan saya di mana tas Bang Jali. Saya jawab (katakan), “Tengok saja sendiri.”

Mereka semua penakut, saya yang disuruh mengambil tas Bang Jali, mereka takut granat, padahal tidak ada apa-apa di tas Bang Jali.

Satu jam kemudian, polisi (dari Polresta Tanjung Balai) datang ke rumah. Mereka pun rupanya sudah tahu tentang kejadian itu. Densus pergi begitu saja, dan saya tidak tahu informasi ke mana Bang Jali dibawa, apakah Bang Jali dibawa ke Medan atau ke mana.

Dari pihak Polres malah menanyakan sama saya ke mana Bang Jali dibawa Densus. Saya dinaikkan ke mobil Patroli Polresta Tanjungbalai, lalu dibawa ke kantor Polresta Tanjungbalai. Saya tidak dikasih pulang ke rumah.

Esok hari, tanggal 20 September, saya masih tidak dizinkan pulang. Sebagian besar anggota Polres Tanjung Balai memperlakukan saya dengan baik, mereka kasihan melihat saya karena menengok anak saya kecil (bayi), tapi ada juga polisi di sini yang jahat dan memperlakukan saya sewenang-wenang.

Saya ingin tahu kabar suami saya. Saya lihat ada koran, saya ambil untuk saya baca. Polisi berpakaian preman itu merampas koran itu dari tangan saya. Hati saya sangat sakit, tapi saya diam saja.

Kapolresta baik sama saya. Dia menanyakan saya, apakah mau pulang ke rumah mengambil baju? Saya sudah bilang sama penyidik, “Cam mana (bagaimana) ini, Pak, kalau saya masuk tahanan jelas status saya, tapi di sini saya tidak jelas sebagai apa, saya tidak tahu apa-apa.”

Kata penyidik, “Tunggu kabar dari Medan saja, baru saya kasih informasi di sini.”

Saya sedih karena Bang Jali tak bisa dijumpai, apalagi dia sudah babak belur dipijak-pijak 20-an orang. Mereka main serbu saja, mereka itu begitu datang tak ada basa-basi lagi. Dinding rumah kami rusak.

Polisi pun tidak boleh lewat  di situ (di rumah) selama satu jam itu. Padahal kan semua pakai peraturan. Polresta Tanjungbalai membantu saya mempertemukan saya dengan keluarga saya agar anak-anak saya yang empat orang tidak tinggal di tahanan.

Saya dipinjamkan telepon sama polisi untuk menelepon adiknya agar saya bisa menitipkan anak-anak saya kepada keluarga, kecuali yang bayi tetap bersama saya, karena dia masih saya susukan. Umurnya kan baru 3 Minggu.

Pada 20 September 2010, sekitar jam 09.00 WIB, saya pertama kali menghubungi keluarga. Saya memberitahu, saya sekarang di Polresta Tanjung Balai, tidak boleh keluar dari sini karena kata polisi saya dijadikan saksi.

Adik saya ke ke Tanjung Balai, hari Senin, 20 September itu juga, menjenguk saya. Kondisi saya sudah beberapa hari tetap tak jelas, tidak dikasih pulang, padahal saya sudah di BAP hari Minggu sampai sekarang tidak keluar-keluar.

Tidak jelas, tidak boleh pulang, soalnya tidak ada yang mau datang menjenguk saya, adik saya pun hanya datang untuk mengambil si Umar, dibawa ke sana, kasihan Bang Jali.

Di sini saya dan bayi saya tidur dan hidup di sebuah ruangan yang menyerupai gudang kertas-kertas, hanya beralas tikar plastik, kasihan Fathur (bayi saya), baru 3 minggu usianya. (*)

Sumber: Tim Kuasa Hukum Ustadz Khairul Ghozali, – keluarga, yakni adik Ustadz Khairul Ghozali (Ustadz DR. Adil Akhyar, SH, MH, LLM dan Ahmad Sofian, SH, MA serta abang Ustadz Khairul Ghozali, DR.Ikhwan)
 
densus 88 biadab, kebiadaban densus 88